SYARAT
WAJIB WAKTU
SHALAT,SYARAT SAH SHALAT, DAN CARA
MENGERJAKAN SHALAT
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh 1
Dosen
Pembimbing : Imam Anas Hadi, M P.d.i
Disusun
Oleh :
1. Putri Nandani (111-14-038)
2. Hafidza Pranatari (111-14-039)
3. Izza Lhaila Lutfiyah (111-14-041)
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN AJARAN
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji
syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT. Tuhan Semesta Alam karena atas izin
dan kehendak Nya-lah makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat waktunya. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada sang suri tauladan kita bagi umat islam yaitu
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat beliau yang telah berjuang
menegakkan ajaran agama islam yang di emban Sang Pembawa Risalah utusan
Kerajaan Arsy.
Penulis
dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi
pendidikan. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai syarat
wajib waktu shalat,syarat sah shalat, dan cara mengerjakan shalat.
Kami
menyadari akan kemampuan kami yang masih kurang menguasai materi ini. Dalam pembuatan makalah
ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin agar makalah ini menjadi pedoman
pembelajaran. Tapi kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
disana-sini. Oleh karena itu kami mengaharapkan kritik dan juga saran agar kami
lebih maju dimasa yang akan datang.
Kami
mengharap, makalah ini dapat menjadi bahan ajaran dan referensi kita untuk
menambah ilmu kita untuk mengarungi masa depan. Kami juga barharap makalah ini
dapat berguna bagi orang lain yang membaca makalah ini.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Salatiga,
28 Agustus 2015
Tim
Penyusun
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat
adalah ibadah yang sangat penting bagi umat islam, karena merupakan rukun
islam, yaitu rukun islam ke 2 setelah membaca kalimat syahadat.Islam didirikan
atas lima tiang dan salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa
melaksanakan shalat maka ia mendirikan agama islam, dan jika meninggalkannya
maka ia meruntuhkan agama islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat?
2. Apa saja syarat wajib shalat?
3. Apa saja syarat sah shalat?
4. Kapan masuk waktu shalat?
5. Bagaimana cara mengerjakan shalat dengan
baik dan benar?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari shalat
2. Mengetahui syarat-syarat wajib waktu
shalat
3. Mengetahui syarat-syarat sah shalat
4. Mengetahui kapan masuk waktu shalat
5. Mengetahui cara mengerjakan shalat
dengan baik dan benar
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat
Shalat
berasal dari kata shallaa (صَلَّى) yang
berarti berdo’a, sedangkan menurut
istilah adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang dimulai dengan takbir
serta diakhiri dengan mengucapkan salam, dengan menggunakan syarat-syarat
tertentu.[1]
Kebanyakan orang menyebut shalat sebagai sembahyang, namun kata sembahyang
sebenarnya kurang tepat kalau dipakai untuk mengartikan kata shalat, sebab
sembahyang berarti menyembah dan memuja Hyang atau Dewata. [2]
B. Syarat Wajib Shalat
Kewajiban
shalat itu dibebankan atas orang yang memenuhi syarat-syarat yaitu: Islam,
baligh, berakal, dan suci. Orang kafir tetap berdosa karena tidak mengerjakan
shalat. Akan tetapi, mereka tidak dituntut melakukan sebab shalat itu tidak sah
dilakukan oleh orang kafir. Orang murtad, jika masuk islam kembali, wajib
mengqadha shalat yang di tinggal selama masa murtadnya, sebab kewajiban shalat
itu tidak gugur oleh kemurtadannya.[3]
Anak-anak
, orang yang hilang akal karena gila atau sakit, dan tidak wajib melakukan
shalat berdasarkan sabda Rasul:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ النَّاىِٔمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya: “Diangkat
qalam dari tiga orang; orang tidur sampai terjaga, anak-anak sampai dewasa, dan
orang gila sampai ia sadar kembali”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).[4]
Orang yang sedang haid atau nifas tidak
wajib shalat, bahkan tidak sah melakukannya sesuai dengan hadits Aisyah:
كُنَّا نَحِيْضُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْ مِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَا ةِ
Artinya: ”Kami haid, di sisi
Rasul Saw, kemudian suci kembali, lalu kami disuruhnya mengqadha puasa dan
tidak disuruh mengqadha shalat”.
Jika
orang yang memenuhi syarat ini tidak melakukan shalat, karena tidak mengakui
kewajibannya, maka dengan demikian ia telah menjadi kafir dan wajib dihukum
bunuh sebagai orang murtad. Sedangkan orang yang tetap mengakui kewajibannya,
tetapi tidak melakukannya karena malas atau alasan lainnya, para ulama berbeda
pendapat tentang hukumannya.
Ahmad
ibn Hanbal, Ishaq, dan Ibn Al-Mubarak berpendapat bahwa orang tersebut telah
menjadi kafir dan wajib dibunuh. Sedangkan Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i,
berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap muslim, tetapi ia berdosa besar
dan wajib dihukum bunuh.
Shalatlah yang membedakan antara orang
muslim dengan orang kafir sehingga jika orang tersebut tidak melakukan shalat,
berarti ia telah menjadi kafir. Misalnya hadits:
العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبيْنَهُمْ الصَّلَا ةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْكَفَرَ
Artinya:
“ Perkara (yang membedakan) antara kita dengan mereka ialah shalat, maka
barang siapa yang meninggalkannya, ia telah kafir”. [5]
C. Syarat Sah Shalat
1. Beragama Islam.
2. Sudah baligh dan berakal.
3. Suci dari hadats (besar ataupun kecil)
atau najis.
4. Suci seluruh anggota badan, pakaian, dan
tempat.
5. Telah masuk waktu yang ditentukan untuk
masing-masing shalat.
6. Mengetahui mana yang rukun dan sunnah.[6]
7. Menutup aurat, laki-laki auratnya antara
pusar sampai lutut, sedangkan wanita auratnya seluruh anggota badan, kecuali
muka dan kedua telapak tangan. Dalam prakteknya, sekalipun aurat laki-laki yang
ditutup hanya antara pusar dan lutut tidak berarti kalau kita mendirikan shalat
menghadap Allah swt tanpa mengenakan baju, hanya bercelana atau mengenakan kain
sarung.[7]
8. Menghadap kiblat, seperti
hadits:
اِذَا قُمْتُ اِلَى الصَّلَاةِ فَاَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبِلِ
الْقِبْلَةَ وَكَبِّرْ
Artinya: “Apabila engkau hendak
menegakkan shalat maka sempurnakanlah wudhu dan menghadaplah ke qiblat,
kemudian bertakbirlah”.[8]
D. Waktu Shalat
سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ:
وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ،
وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا
لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ
الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا
غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Artinya : “Rasulullah
ditanya tentang waktu shalat (yang lima). Beliaupun menjawab, “waktu shalat
fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat dzuhur
apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama
belum datang waktu ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning
dan sebelum jatuh (tenggelaam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah
bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya’
adalah sampai tengah malam”. (HR. Muslim no. 1388)[9]
1. Subuh :, awal waktunya setelah terbit
fajar sebelum terbit sisi matahari yang awal sampai terbitnya matahari kurang
lebih pukul 04.20 WIB pagi sampai dengan jam 05.45 WIB. Pada jam itu sudah
wajib untuk shalat subuh.
2. Dzuhur : awal waktunya dimulai apabila
matahari telah tergelincir dari bagian tengah langit atau sejak matahari
condong (gelincir) ke barat, kurang kebih pukul 11.50 WIB, dan akhir waktunya
ialah di saat bayangan sesuatu benda sama betul panjangnya dengan benda itu,
kurang lebih pukul 15.05 WIB. Pada jam tersebut sudah di wajibkan untuk shalat
dzuhur.
3. Ashar : awal waktunya, setelah waktu
dzuhur habis, yaitu selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh
(tenggelaam) sisinya yang awal dan berakhir setelah terbenamnya matahari.
Kurang lebih pukul 15.05 WIB sampai pukul 17.52 WIB.
4. Maghrib : awal waktunya setelah
terbenamnya matahari dan berakhir apabila syafaq hilang. Kurang lebih
antara pukul 17.52 WIB sampai dengan pukul 19.01 WIB.
5. Isya’ : awal waktunya, setelah hilangnya
teja merah sampai terbitnya fajar, yaitu kurang lebih pukul 19.01 WIB sampai
dengan pukul 04.34 WIB.[10]
E. Tata Cara Shalat
Shalat
itu meliputi beberpa perbuatan dan perkataan, sebagian rukun dan sebagian lagi
adalah sunnah. Jadi, kajian tentang cara melakukan shalat ini meliputi rukun
dan sunah-sunnah shalat.
1. Niat
Niat
berarti menyengaja. Niat berfungsi membedakan suatu pekerjaan dengan pekerjaan
lainnya, ibadah dengan yang bukan ibadah, dan ibadah yang satu dengan yang
lain.
2. Berdiri
Berdiri
itu wajib sepanjang orang yang shalat itu mampu. Apabila ia tidak mampu
berdiri, maka ia dapat shalat dengan duduk, dan jika duduk pun tidak mampu, ia
dapat shalat dengan berbaring. Seperti dalam riwayat al-Nasa’i :
فَاِنْ لَمْ تَسْتَتِعْ فَمُسْتَلْقِيًا لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا الَّا وُسْعَهَا
Artinya : “Maka
jika engkau tidak mampu berbaring, maka shalatlah dengan menelentang, Allah
tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya”.[11]
3. Takbir
Nabi
Saw selalu memulai shalatnya dengan mengucapkan: Allahu Akbar dan beliau pun
pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang shalatnya salah seperti
tersebut dalam pembicaraan terdahulu.
إ نَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَ ةٌ لأَ حَدٍ
مِنَ النَّا سِ حَتَّى يَتَوَضَّأ فَيَضَعَ الْوَ ضُوْءَ
مَوَا ضِعَهُ ثُمَّ يَقُوْلُ: اَلَّلهُ
اَكْبَرُ.
Artinya:
“ Sesungguhnya shalat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu dan
melakukan wudhu sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar”.[12]
4. Mengangkat kedua Tangan
Terkadang
nabi mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan ucapan takbir, terkadang
sesudah ucapan takbir, dan terkadang sebelum ucapan takbir.
كَانَ يَرْفَعُهُمَا مَمْدُوْدَۃَ الْأَصَا بِعِ]لَايُفَرِّجُ بَيْنَهَا وَلَا يَضُمُّهَا[
Artinya:”
Beliau mengagkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus keatas
[tidak merenggangkannya dan tidak pula menggenggamnya]”.
Dan
mengangkatnya sejajar bahu, tetapi terkadang sejajar (daun) telinga.
5. Bersedekap di Dada
كَانَ يَضَعُ الْيُمْنٰى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ
وَالسَّاعِدِ
Artinya:
“ Nabi Saw meletakkan (telapak tangan) kanan diatas punggung telapak,
pergelangan,dan lengan bawah kirinya.”(HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu
Khuzaimah).
6. Memandang Tempat Sujud yang Khusuk
كَانَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلّٰى طَأْطَأَ رَأْ سَهُ
وَرَمٰى بِبَصَرِهِ نَحْوَ الْأَرْضِ
Artinya: “Saat
shalat Nabi Saw biasa menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke
bumi.”
كَانَ يَنْهٰى عَنْ رَفْعِ الْبَصَرِ إِلَى السَّمَاءِ
Artinya: “Beliau
melarang seseorang shalat menengadah ke langit.”
Rasulullah
melarang 3 hal dalam shalat, yaitu: sujud dengan cepat seperti ayam mematuk
makanan, duduk seperti iq’a-nya anjing, dan menolehnya seperti
menolehnya musang.[13]
7.
Do’a-do’a
Iftitah
Do’a-do’a Iftitah yang dibaca
oleh Nabi Saw bermacam-macam. Dalam do’a iftitah Nabi Saw mengucapkan pujian,
sanjungan, dan kalimat keagungan untuk Allah.[14]
8. Membaca Ta’awwudz
9. Membaca Al-Fatihah
10. Membaca Surah dalam Al-Qur’an Setelah Al-Fatihah
11. Ruku’
Sekurang-kurangnya rukuk itu ialah
menunduk sedemikian rupa sehingga telapak tangannya dapat diletakkan ke lutut.
Inilah yang wajib dilakukan ketika ruku’. Ruku’ yang sempurna
ialah dengan menunduk sampai punggungnya rata dengan leher seperti selembar
papan, kedua kakinya diluruskan, kedua lutut dipegang dengan telapak tangan,
dan jari-jari tangannya direnggangkan menghadap kiblat.
Tuma’ninah
pada ruku’ ialah bahwa anggota tubuhnya tenang dalam keadaan ruku’
itu, sehingga gerak turunnya ke ruku’ itu benar-benar terpisah dari gerak naiknya
untuk bangkit kembali.
12. I’tidal
I’tidal
ialah mengembalikan semua anggota tubuh kepada posisinya sebelum ruku’,
baik dalam shalat berdiri maupun duduk. Sebagian ulama mengatakan bahwa
memanjangkan i’tidal yang tidak pada tempatnya dapat membatalkan shalat,
kecuali pada waktu qunut atau i’tidal dalam shalat tasbih. [15]
13. Sujud
Yaitu,
meletakkan dahi ke lantai disertai tekanan bobotnya. Sujud dengan meletakkan
serbannya saja, tidak memadai. Demikian juga sujud diatas kain yang terlilit di
bahu, atau diatas lengan bajunya,yang ikut bergerak dengan gerakannya. Selain
dahi, wajib pula meletakkan perut kedua telapak tangan dan jari-jarinya, kedua
lutut, dan perut jari-jari kedua kaki ke lantai.[16]
14. Duduk Diantara Dua Sujud
15. Tasyahud
Awal
Duduk tasyahud awal dilakukan saat
pada raka’at kedua, kalau shalat kita tiga raka’at atau empat
raka’at, posisi duduknya yaitu: dengan sikap kaki kanan tegak, dan kaki
kiri diduduki, sambil membaca tasyahud/tahyat awal. Pada saat bacaan tasyahud
telah sampai pada illahllah,telunjuk tangan kanan sunnah diangkat
tanpa digerak-gerakkan.[17]
16. Tasyahud
Akhir
Cara
duduk pada tasyahud Akhir ialah sebagai berikut:
a. Usakan pantat menempel di alas(sajadah),
dan kaki kiri dimasukkan ke bawah kaki kanan.
b. Jari-jari kaki kanan tetap menekan ke
alas(sajadah)
Bacaan
tasyahud akhir sama dengan tasyahud awal yang ditambah dengan shalawat atas
keluarga nabi Muhammad Saw.
17. Salam
Pada
waktu membaca salam yang pertama, muka kita menengok ke kanan dan waktu membaca
salam kedua, muka kita menengok ke kiri. [18]
Setelah
berdo’a, Rasulullah SAW selalu mngusap wajahnya dengan kedua tangannya. Begitu
pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap
wajah dengan kedua tangannya. Sebab shalat secara bahasa berarti berdo’a karena
di dalamnya terkandung do’a-do’a kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang
yang mengerjakan shalat juga sedang berdo’a. Maka wajar jika setelah shalat ia
juga disunnahkan mengusap muka.[19]
Di
dalam mengerjakan shalat, hendaknya dilakukan dengan khusyu’, karena khusyu’
merupakan perkara yang sangat penting dan merupakan tujuan dari shalat yang
kita kerjakan. Khusyu’ adalah kondisi dimana seseorang melakukan shalat
dengan memenuhi segala syarat, rukun, dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan
tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang
dibaca dalam shalat.
Dengan
cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusyu’ serta
memberikan implikasi yang positif dalam kehidupan kita. Yakni mencegah manusia
dari perbuatan buruk dan kemungkaran. Melihat arti pentingnya khusyu’ dalam
shalat, Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi berkata bahwa ketika seorang hamba telah
mampu melaksanakan shalat dengan khusyu’ , berarti ia telah sampai pada
tingkaat keimanan yang sempurna.namun begitu, harus diakui bahwa khusyu’ ini merupakan perkara yang sangat berat
sekali. Apalagi bagi kita yang masih awam. Kalau kenyataannya seperti itu,
minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusyu’ itu bisa
terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat.[20]
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali : “Maka tidak mungkin untuk
mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusyu’)dalam seluruh shalatnya.
Karena tidak semua orang mampu mengerjakannya, kecuali sedikit sekali orang
yang mampu melaksanakannya. Karena itu, maka yang dapat disyaratkan adalah
bagaimana dalam shalat itu bisa khusyu’ walaupun hanya sesaat saja”[21]
Begitulah
pendapat Imam al-Ghazali tentang khusyu’, meskipun sangat berat untuk
dilakukan, namun setidaknya dalam shalat kita terdapat khusyu’ meskipun
sekejap.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Shalat
berasal dari kata shallaa (صَلَّى)
yang
berarti berdo’a, sedangkan menurut
istilah adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang dimulai dengan takbir
serta diakhiri dengan mengucapkan salam, dengan menggunakan syarat-syarat
tertentu.
Kewajiban
shalat itu dibebankan atas orang yang memenuhi syarat-syarat yaitu: Islam,
baligh, berakal, dan suci.
Syarat sah shalat antara
lain ; beragama Islam, sudah baligh dan berakal, suci dari hadats atau najis
(anggota badan, pakaian, dan tempat), telah masuk waktu yang ditentukan untuk
masing-masing shalat, mengetahui mana yang rukun dan sunnah, menutup aurat
(baik laki-lakki maupun perempuan), menghadp kiblat.
Shalat Subuh awal
waktunya setelah terbit fajar sebelum terbit sisi matahari yang awal sampai
terbitnya matahari. Sedangkan Dzuhur awal waktunya dimulai apabila matahari
telah tergelincir dari bagian tengah langit atau sejak matahari condong
(gelincir) ke barat. Shalat Ashar ialah awal waktunya, setelah waktu dzuhur
habis, yaitu selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelaam)
sisinya yang awal dan berakhir setelah terbenamnya matahari.Shalat Maghrib awal
waktunya setelah terbenamnya matahari dan berakhir apabila syafaq hilang.
Shalat Isya’ awal waktunya, setelah hilangnya teja merah sampai terbitnya fajar.
Tata cara melaksanakan shalat antara lain ; niat, berdiri, takbir, mengangkat
kedua tangan,bersedekap di dada, memandang tempat sujud,doa iftitah, membaca
ta’awwudz, membaca Al-Fatihah, membaca surah dalam Al-Qur’an,ruku’,i’tidal,
sujud,duduk diantara dua sujjud, tasyahud awaal dan akhir, salam
B. Saran
Dalam melaksanakan shalat, hendaklah
memperhatikan syrat wajib shalat,syarat sah shalat, waktu masuk shalat, dan
tata cara mengerjakan shalat yang baik dan benar, tidak lupa juga menghadirkan
khusyu’ dalam shalat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad, Muhyiiddin. 2004. Fiqh
Tradisionalis. Cet. Ke-1. Jember: Pustaka Bayan Malang.
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin. 2009. Sifat Shalat Nabi Saw. Cet. Ke-2.
Yogyakarta: Media Hidayah.
Al-Barasy,
M. Lutfi. t.t. Tuntunan Shalat Lengkap. Surabaya: t.p..
Al-Bashal,
Ali Abu. 2006. Keringanan-keringanan dalam Shalat. Cet. Ke-1. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Fachrurrozy,
Moh. 1983. Kunci Ibadah. Jakarta: Pustaka Amani.
Nasution,
Lahmuddin. t.t. Tuntunan Shalat Lengkap. Surabaya: Anugerah.
[1] Ali Abu Al-Bashal, Keringanan-keringanan
dalam Shalat,Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 1.
[2] Moh. Fachrurrozy, Kunci
Ibadah, (Jakarta: Pustaka Amani,1983), hlm. 26.
[3] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (t.k.: t.p., t.t.), hlm. 57.
[5] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, hlm. 58.
[6] M. Lutfi Al Barasy, Tuntunan
Shalat Lengkap, (Surabaya: Anugerah, t.t.), hlm. 28.
[7] Moh. Fachrurrozy, Kunci Ibadah, hlm. 29.
[8] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, hlm. 64.
[10]Moh. Fachrurrozy, Kunci Ibadah,
hlm. 31.
[11] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, hlm. 60-62.
[12] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi
Saw, hlm. 101.
[13]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat
Shalat Nabi Saw, hlm. hlm.
104-106.
[14] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi
Saw, hlm. 109.
[15] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1,
hlm. 72-73.
[17]Muyiddin Abdusshomad, Fiqh
Tradisionalis,Cet.Ke-1,(Jember : Pustaka Bayan Malang, 2004),hlm. 103.
[18]M. Lutfi Al Barasy, Tuntunan
Shalat Lengkap, hlm. 38-40.
[19]Muyiddin Abdusshomad,
Fiqh Tradisionalis, hlm. 104-105.
[21]Muyiddin Abdusshomad,
Fiqh Tradisionalis, hlm. 108.
No comments:
Post a Comment