Monday, August 15, 2016

MAKALAH Ijarah/ Sewa Menyewa



MAKALAH
Ijarah/Sewa Menyewa
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 2
Dosen pengampu: M. Hanif, M.Hum.


Disusun Oleh:
1.      Khotijatul Asna             111-14-094
2.      Sarah Faradilla A.          111-14-198
3.       


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
SALATIGA
2016
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas didalam fiqih muamalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi obyek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering disebut dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal dengan persewaan, sangat sering membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini, seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.
Sebagaimana transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Ijarah ?
2.      Bagaimana dasar hukum ijarah ?
3.      Apa rukun dan syarat ijarah ?
4.      Apa macam-macam ijarah ?
5.      Bagaimana pembayaran upah dan sewa?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari ijarah.
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar hukum ijarah.
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat sahnya ijarah.
4.      Untuk mengetahui macam-macam ijarah.
5.      Untuk mengetahui pembayaran upah dan sewa.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah
Ijarah/sewa berasal dari kata al-ajru yang artinya ‘ganti’, upah atau menjual manfaat.  Menurut Zuhaily (1989: 729), transaksi sewa (ijarih) identic dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu.
Secara istilah syariah, menurut ulama ushul fiqih, menurut Al-Jazari (2005: 523), sewa dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga tertentu. Menurut Sabiq (1983: 194), sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. [1]
Adapun pengertian ijarah yang dikemukakan oleh para ulama madhab sebagai berikut:
1.      Pengertian ijarah menurut ulama Hanafiyah ialah:
عقذ يفيد تملك منفعة معلومة مقصودة عن العين المستاجرة معوض
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan dilakukan dengan sengaja dari satu zat yang disewa dengan disertai imbalan.”
2.      Pengertian ijarah menurut ulama Malikiyah ialah:
تسمية  التناقد على منفعةالأدمى وبعدالمنقولات
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan juga untuk sebagai yang dapat dipindahkan.”
3.      Pengertian ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah:
عقد على المنافع بعوض
“jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”[2]
Berdasarkan hal itu, menyewakan  pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga hukumnya menyewakan dua jemis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan dirimbang. Alasannya, semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Semua manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir. Dan, sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah upah.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memiliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewa berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awadhah timbal balik. [3]

B.     Dasar Hukum Ijarah
Dasar hukum atau landasan hukum ijarah adalah Al-qur’an, al-hadits, dan ijma’. Dasar hukum ijarah dari al-Qur’an adalah surat at-Thalaq: 6 dan al-Qashash: 26. Sebagai mana firman Allah SWT;
1.      Surat at-Thalaq: 6
فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن
“... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
2.      Surat al-Qashash: 26
قالت إحداهما ياأبت استأجره إن خيرمن استأجرت القوي الأمين
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Dasar hukum ijarah dari al-Hadits sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.
أعطوا الأجيرأجره قبل أن يجف عرقه
“Berikanlah upah terhadap pekerjaan, sebelum kering keringatnya.”
Dalam hasits lain, Rasulullah juga bersabda:
أن رسول الله أحتجم واعطى الحجام أججره واستعطى
“Rasulullah SAW. melakukan bekam, dan membayar upah terhadap tukang bekam tersebut, kemudian Rasul menggunakan obatnya.”
Adapun dasar hukum ijarah dari ijma’ ialah bahwa semua ulama telah sepakat terhadap keberadaan praktek ijarah ini, meskipun mereka mangalami perbedaan dalam ataran teknisnya.[4]
Adapun hukum syariat mengesahkan praktek sewa karena kehidupan sosial memang membutuhkannya. Sepertihalnya masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal dan satu sama lain saling membutuhkan.
C.    Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun ijarah hanya terdiri ijab dan qabl. Karena itu akad ijarah sudah dianggap sah dengan adanya ijab-qabul tersebut, baik dengan lafal ijarah atau dengan lafal yang menunjukkan makna tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun ijarah terdiri dari mu’jir, masta’jir,ajr, manfaat dan shighah(ijab-qabul).
Adapun mengenai syarat ijarah yang harus dipenuhi oleh mu;jir dan musta’jir (pihak yang melakukan akad ijarah),sama dengan syarat pada akad lainnya, seperti keduanya harus berakal sehat dan dewasa. Tetapi kalangan ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan (kebolehan) orang yang belum dewasa bertindak sebagai para pihak dalam akad ijarah tersebut. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyyah, bahwa seseorang yang belum dewasa (mumayyiz) dapat berperan sebagai pihak yang melakukan akad ijarah, dengan syarat harus ada izin dari walinya. Karena itu akad ijarah seorang anak yang belum dewasa bersifat mauquf (ditangguhkan), sampai ada izin dari walinya.[5]

Berdasarkan rukun ijarah di atas, dapat disimpulkan syarat-syarat yang berlaku dalam ijarah sebagai berikut:
1.      Ijarah dilakukan oleh orang yang mempunyai hak tasharruf (membelanjakan harta). Syarat ini berlaku bagi semua jenis mu’amalah.
2.      Manfaat dapat diketahui, seperti menempati rumah, mengajarkan suatu ilmu, dll.
3.      Diketahui upahnya
4.      Barang yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik atau definitif.
5.      Manfaat dalam ijarah adalah mubah, tidak sah manfaat yang haram.[6]
D.    Macam-macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:
1.      Ijarah ‘ala al-munafi’.yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat. Dalam ijarah ini tidak diperbolehkan menjadikan obyeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’. Menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa sew tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut. Namun ada akad ijarah ‘ala al’manafi’ yang perlu mendapat perincian lebih lanjut, yaitu:
a.       Ijarah al- ‘ardh (akad sewa tanah ) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah memberi izin untuk ditanami apa saja.
b.      Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang binatang dapat dimanfaatkan banyak hal, jika untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad.
2.      Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah,  yaitu ijarah yang obyek akadnya atau pekerjaannya, seperti membangun gedung menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu, pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerja atau buruh (ajir). Ajir  itu sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musytarak. Pengertian ajir khass adalah pekerjaan atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga. Sedangkan ajir musytarak adalah seorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapat upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara  dan konsultan. [7]
E.     Pembayaran Upah dan Sewa
Jika ijarah suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan dzat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayaran kepada penyewa sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut :
1.      Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda :
2.      Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.[8]
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikankan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir  itu sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.

Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa;
2.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
3.      Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
4.      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesai perkejaan;
5.      Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Pengembalian Sewaan
            Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
            Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[9]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Akad ijarah merupakan akad jual beli, namun demikian, dalam ijarah kepemilikan dibatasi dengan waktu. Para fuoha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’. Rukun ijarah ada empat yaitu: ‘Aqid (orang yang akad), shigat akad, ujrah(upah), dan manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu: syarat Al- inqad(terjadi akad), syarat An-Nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
B.     Saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Huda, Qomarul. 2011. Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta: TERAS, Cet. I.
Muhammad bin Abdullah Ath-Thayyar. 2014. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, Cet. II.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. I.
Suhendi, Hadi. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. I.


[1]
[2]Qomarul Huda, M.Ag, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta:TERAS, 2011), Cet. I, Hal: 77-78.
[3]Syyid Sabiq, Fiqih Sunnah,(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Cet I, hal:201.
[4] Qomarul Huda, M.Ag, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta:TERAS, 2011), Cet. I, hal: 78-80.
[5]Ibid., hal :80-81.
[6]Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014), cet II, hal: 313.  
[7] Qomarul Huda, M.Ag, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta:TERAS, 2011), Cet. I, hal: 85-88.
[8]Dr. H. Hendri Suhendri, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), Cet.I, hlm: 121.
[9] Dr. H. Hendri Suhendri, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), Cet.I, hlm: 121-123.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Hesti...