MAKALAH
Ijarah/Sewa Menyewa
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 2
Dosen pengampu: M. Hanif, M.Hum.
Disusun Oleh:
1.
Khotijatul Asna
111-14-094
2.
Sarah Faradilla A. 111-14-198
3.
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
SALATIGA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fiqih muamalah
merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya
dalam sebuah masyarakat. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat.
Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas didalam fiqih muamalah ialah
ijarah.
Ijarah merupakan
salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi obyek
transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering disebut
dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal dengan persewaan,
sangat sering membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini, seseorang
yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, maka bisa
diperbolehkan dengan cara menyewa.
Sebagaimana
transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para
pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan
saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud Ijarah ?
2. Bagaimana
dasar hukum ijarah ?
3. Apa
rukun dan syarat ijarah ?
4. Apa
macam-macam ijarah ?
5. Bagaimana
pembayaran upah dan sewa?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari ijarah.
2. Untuk
mengetahui dasar-dasar hukum ijarah.
3. Untuk
mengetahui rukun dan syarat sahnya ijarah.
4. Untuk
mengetahui macam-macam ijarah.
5. Untuk mengetahui
pembayaran upah dan sewa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijarah
Ijarah/sewa berasal dari kata al-ajru yang
artinya ‘ganti’, upah atau menjual manfaat. Menurut Zuhaily (1989: 729), transaksi sewa (ijarih)
identic dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi
dengan waktu.
Secara istilah syariah, menurut ulama ushul fiqih, menurut
Al-Jazari (2005: 523), sewa dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu
dengan harga tertentu. Menurut Sabiq (1983: 194), sewa adalah suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. [1]
Adapun pengertian
ijarah yang dikemukakan oleh para ulama madhab sebagai berikut:
1.
Pengertian ijarah menurut ulama Hanafiyah ialah:
عقذ يفيد تملك منفعة معلومة مقصودة عن العين المستاجرة معوض
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan dilakukan
dengan sengaja dari satu zat yang disewa dengan disertai imbalan.”
2.
Pengertian ijarah menurut ulama Malikiyah ialah:
تسمية التناقد على
منفعةالأدمى وبعدالمنقولات
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan juga
untuk sebagai yang dapat dipindahkan.”
3.
Pengertian ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah:
عقد على المنافع بعوض
“jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”[2]
Berdasarkan hal
itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan
buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau
manfaat. Demikian juga hukumnya menyewakan dua jemis mata uang (emas dan perak),
makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan dirimbang. Alasannya,
semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfatkan kecuali dengan mengkonsumsi
bagian dari barang tersebut. Semua manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas
barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Pihak pemilik
yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang
menyewa disebut musta’jir. Dan, sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur.
Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajrah
atau ujrah upah.
Apabila akad sewa
diputuskan, penyewa sudah memiliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewa
berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awadhah timbal
balik. [3]
B.
Dasar
Hukum Ijarah
Dasar hukum atau
landasan hukum ijarah adalah Al-qur’an, al-hadits, dan ijma’. Dasar hukum
ijarah dari al-Qur’an adalah surat at-Thalaq: 6 dan al-Qashash: 26. Sebagai
mana firman Allah SWT;
1. Surat at-Thalaq: 6
فإن
أرضعن لكم فآتوهن أجورهن
“... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah kepada
mereka upahnya.”
2. Surat al-Qashash:
26
قالت إحداهما ياأبت استأجره إن خيرمن استأجرت القوي الأمين
“Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Dasar hukum ijarah
dari al-Hadits sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.
أعطوا الأجيرأجره قبل أن يجف عرقه
“Berikanlah upah terhadap pekerjaan, sebelum kering
keringatnya.”
Dalam hasits lain,
Rasulullah juga bersabda:
أن رسول الله أحتجم واعطى الحجام أججره واستعطى
“Rasulullah SAW. melakukan bekam,
dan membayar upah terhadap tukang bekam tersebut, kemudian Rasul menggunakan
obatnya.”
Adapun dasar hukum
ijarah dari ijma’ ialah bahwa semua ulama telah sepakat terhadap keberadaan
praktek ijarah ini, meskipun mereka mangalami perbedaan dalam ataran teknisnya.[4]
Adapun hukum
syariat mengesahkan praktek sewa karena kehidupan sosial memang membutuhkannya.
Sepertihalnya masyarakat membutuhkan rumah untuk tempat tinggal dan satu sama
lain saling membutuhkan.
C.
Rukun
dan Syarat Ijarah
Menurut ulama
Hanafiyah bahwa rukun ijarah hanya terdiri ijab dan qabl. Karena
itu akad ijarah sudah dianggap sah dengan adanya ijab-qabul tersebut,
baik dengan lafal ijarah atau dengan lafal yang menunjukkan makna
tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun ijarah terdiri dari mu’jir,
masta’jir,ajr, manfaat dan shighah(ijab-qabul).
Adapun mengenai
syarat ijarah yang harus dipenuhi oleh mu;jir dan musta’jir (pihak
yang melakukan akad ijarah),sama dengan syarat pada akad lainnya,
seperti keduanya harus berakal sehat dan dewasa. Tetapi kalangan ulama berbeda
pendapat mengenai keabsahan (kebolehan) orang yang belum dewasa bertindak
sebagai para pihak dalam akad ijarah tersebut. Menurut ulama Hanafiyah
dan Malikiyyah, bahwa seseorang yang belum dewasa (mumayyiz) dapat
berperan sebagai pihak yang melakukan akad ijarah, dengan syarat harus
ada izin dari walinya. Karena itu akad ijarah seorang anak yang belum
dewasa bersifat mauquf (ditangguhkan), sampai ada izin dari walinya.[5]
Berdasarkan rukun
ijarah di atas, dapat disimpulkan syarat-syarat yang berlaku dalam ijarah
sebagai berikut:
1.
Ijarah dilakukan
oleh orang yang mempunyai hak tasharruf (membelanjakan harta). Syarat
ini berlaku bagi semua jenis mu’amalah.
2.
Manfaat dapat diketahui, seperti menempati rumah,
mengajarkan suatu ilmu, dll.
3.
Diketahui upahnya
4.
Barang yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan
pada saat akad, baik secara fisik atau definitif.
5.
Manfaat dalam ijarah adalah mubah, tidak sah manfaat yang
haram.[6]
D.
Macam-macam
Ijarah
Berdasarkan uraian
tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian:
1.
Ijarah ‘ala al-munafi’.yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat. Dalam
ijarah ini tidak diperbolehkan menjadikan obyeknya sebagai tempat yang
dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’. Menurut ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan
perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa
sew tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung,
melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut. Namun
ada akad ijarah ‘ala al’manafi’ yang perlu mendapat perincian lebih
lanjut, yaitu:
a.
Ijarah al- ‘ardh (akad sewa tanah ) untuk ditanami atau didirikan
bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila
akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika
pemilik tanah memberi izin untuk ditanami apa saja.
b.
Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk
angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang binatang
dapat dimanfaatkan banyak hal, jika untuk menghindari sengketa kemudian hari,
harus disertai rincian pada saat akad.
2.
Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah, yaitu ijarah yang
obyek akadnya atau pekerjaannya, seperti membangun gedung menjahit pakaian.
Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu,
pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerja atau buruh (ajir). Ajir
itu sendiri terbagi menjadi dua
macam yaitu ajir khass dan ajir musytarak. Pengertian ajir
khass adalah pekerjaan atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual
dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga. Sedangkan ajir
musytarak adalah seorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat
oleh orang tertentu. Dia mendapat upah karena profesinya, bukan karena
penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara dan konsultan. [7]
E.
Pembayaran Upah dan Sewa
Jika ijarah suatu
pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan.
Bila tidak ada pekerjaaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan
mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah
wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang
diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad
itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan dzat benda yang disewa kepada musta’jir,
ia berhak menerima bayaran kepada penyewa sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah
bagi musta’jir adalah sebagai berikut :
1.
Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada
hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda :
2.
Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad
sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan
mengalir selama penyewaan berlangsung.[8]
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang
lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang
dijanjikankan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad
dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah, kemudian kerbau
tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun
harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan
yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil,
atau seimbang.
Bila ada kerusakan
pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir)
dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir.
Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka
yang bertanggung jawab adalah musta’jir
itu sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang
dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad
pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal
sebagai berikut :
1.
Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada
tangan penyewa;
2.
Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi
runtuh dan sebagainya;
3.
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih),
seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
4.
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa
yang telah ditentukan dan selesai perkejaan;
5.
Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah
satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada
yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Pengembalian Sewaan
Jika ijarah
telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan jika
barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan
jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan
kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan tanah, ia wajib menyerahkan
kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan
untuk menghilangkannya.
Mazhab
Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya,
seperti barang titipan.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di definisikan sebagai hak untuk
memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Akad ijarah
merupakan akad jual beli, namun demikian, dalam ijarah kepemilikan dibatasi
dengan waktu. Para fuoha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan
oleh syara’. Rukun ijarah ada empat yaitu: ‘Aqid (orang yang akad), shigat
akad, ujrah(upah), dan manfaat.
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana
syarat dalam jual beli, yaitu: syarat Al- inqad(terjadi akad), syarat An-Nafadz
(syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi
penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Qomarul. 2011. Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta:
TERAS, Cet. I.
Muhammad bin Abdullah Ath-Thayyar. 2014. Ensiklopedi
Fiqih Muamalah, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, Cet. II.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, Cet. I.
Suhendi, Hadi. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, Cet. I.
[4] Qomarul Huda, M.Ag, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta:TERAS,
2011), Cet. I, hal: 78-80.
[6]Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi
Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014), cet II, hal: 313.
[7] Qomarul Huda, M.Ag, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta:TERAS,
2011), Cet. I, hal: 85-88.
[8]Dr. H. Hendri Suhendri, Fiqih Muamalah,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), Cet.I, hlm: 121.
[9] Dr. H. Hendri Suhendri, Fiqih Muamalah,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), Cet.I, hlm: 121-123.
No comments:
Post a Comment