Monday, August 15, 2016

MAKALAH PUASA RAMADHAN



FIQIH 1
“PUASA RAMADHAN”
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqh 1
Dosen Pengampu : Imam Anas Hadi, M.Pd.i.



Description: Description: Description: Description: Description: http://iainsalatiga.ac.id/web/wp-content/uploads/2013/01/LOGO-AKHIR-copy.png
 








Disusun oleh :
1.      Wakhid Ahmad Kanafi          (111-14-182)
2.      Sarah Faradilla Alfiana           (111-14-198)
3.      Nizar Azim Mustofa               (111-14-200)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Allah SWT  menciptakan  manusia  agar  mengenal  dan  menyembah-Nya, menunaikan hak-hak rububiyah  dan  uluhiyah-Nya. Karena itu, Islam  menjadikan  penghambaan  (ta’abud  atau ‘ibadah)  kepada  Allah sebagai kewajiban  pertama yang dituntut dari seorang Muslim. Rukun-rukun Islam, yang terdiri dari dua kalimat syahadat, medirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah, merupakan  perwujudan dari ta’abud kepada  Allah  SWT. 
Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri (pada siang hari), dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Berpuasa pada bulan Ramdhan ini merupakan salah satu rukun Islam yang lima.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan puasa Ramadhan?
2.         Bagamiana cara menentukan ketentuan awal dan akhir Ramadhan?
3.         Bagaimana cara pelaksanakan puasa?
4.         Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa?
5.         Apa sajakah faedah puasa?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian puasa Ramadhan
2.      Untuk mengetahui ketentuan awal dan akhir bulan Ramadhan
3.      Untuk mengetahui pelaksanaan berpuasa
4.      Untuk mengetahui hal-hal yang memabtalkan puasa
5.      Untuk mengetahui faeda-faedah puasa


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Puasa Ramadhan
            Puasa adalah terjemahan dari bahasa Arab : shaum dan shiyam yang berarti menahan (imsak) seperti Inni nazartu li al-Rahmani shawman.[1]
            Menurut syara’ , puasa ialah menahan diri dari beberapa perbuatan tertentu, dengan niat dan menurut aturan tertentu pula.
            Puasa Ramadhan adalah kewajiban yang  saklar dan ibadah Islam yang  bersifat syi’ar yang  besar, juga salah satu rukun Islam yang kelima, yang menjadi pilar agama ini.[2]
            Wajibnya puasa ini telah dikukuhkan dalam  Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
            Dalam Al-Qur’an,  Allah  SWT  berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {183}
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ …..{184}

Artinya : “Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sbelum kalian, agar kalian bertakwa, (yaitu) beberapa hari yang tertentu….” (QS. Al-Baqarah : 183-184)
            Kemudian firman Allah selanjutnya
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
Artinya : (Yaitu) bulan Ramadhan yang padanya (mulai) diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan petunjuk itu dan pembeda. Maka barangsiapa  di antara kalian melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa…” (QS. Al-Baqarah: 185)

            Di dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Artinya : Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:Islam ditegakkan diatas lima (dasar, rukun) : Syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji ke bait Allah, dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhori Muslim)
            Puasa di bulan Ramadhan pertama kali diwajibkan pada tahun kedua dari Hijrah Nabi SAW. Ia wajibkan atas orang-orang yang sudah mukallaf (baligh dan berakal) dan atas orang yang mampu mengerjakannya. Karena itu, tidaklah wajib puasa itu atas :
1.      Anak-anak,
2.      Orang gila,
3.      Orang yang tidak suci (dari haid dan nifas)
4.      Orang yang hilang akal, sebab mabuk dan lain-lain,
5.      Orang yang sangat tua yang tidak kuat menjalankan puasa,
6.      Orang yang sakit bila puasa mungkin bertambah-tambahnya sakitnya.[3]

B.     اااKetentuan Awal dan Akhir Ramadhan
            Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari.
            Untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan dapat ditempuh tiga cara, yaitu :
1.      Dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit tanggal satu bulan Qamariah dengan mata telanjang.
2.      Dengan cara istikmal, yaitu dengan menyempurnakan bilangan hari dari bulan Sya’ban dan Ramadhan.
3.      puasaDengan cara hisab, yaitu dengan cara perhitungan peredaran bulan dan matahari.
            Sulaiman Rasjid di dalam bukunya berpendapat bahwa cara menetapkan awal bulan Ramadhan adalah
a)      Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya sendiri.
b)      Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari,
c)      Dengan adanya melihat (ru’yat) yang dipersaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.
d)     Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat bersepakat untuk berdusta.
e)      Percaya kepada orang yang melihat.
f)       Tanda-tanda yang biasa dilakukan di kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum) seperti lampu,  meriam, dan sebagainya.
g)      Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).[4]

C.    Cara Pelaksanaan Puasa
            Cara mengerjakan puasa , yaitu diawali dengan niat, sahur, dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.[5]
            Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyaratkan melakukan hal-hal sebagai berikut :


1.      Niat
Puasa harus dengan niat di dalam hati yang diucapkan pada malam harinya (menjelang puasa). Sempurnanya niat harus jelas untuk berpuasa besok, memenuhi kewajiban karena Allah Ta’ala.
2.      Makan sahur
Makan sahur menurut ijma’ umat Islam adalah sunah dan tidak berdosa bila ditinggalkan. Waktu sahur adalah dari pertengahan malam sampai terbit fajar dan di sunahkan mengakhirnya. Tujuan dari makan sahur adalah untuk menguatkan orang yang berpuasa pada esok harinya.
3.      Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa
Orang yang berpuasa hendaklah menjaga diri dari hal-hal yang membatalkannya, seperti makan, minum, bersenggama, muntah yang disengaja, dan lain sebagainya.
                        Untuk melaksanakan puasa secara benar dan sah, terdapat beberapa syarat dan rukun yang ditetapkan syara’:
1.      Syarat Wajib Puasa
Syarat-syarat wajib berpuasa adalah :
a)      Berakal sehat, orang gila dan hilang ingatannnya tidak diwajibkan berpuasa.
b)      Baligh, yaitu orang yang telah dewasa. Anak-anak tidak wajib berpuasa.
c)      Mampu (kuat) berpuasa, orang yang sudah tua atau sakit yang tidak kuat berpuasa lagi, maka tidak diwajibkan berpuasa tetapi harus membayar fidyah.

2.      Syarat Sah Puasa
a)      Islam, maka orang yang bukan Islam tidak sah berpuasa.
b)      Mumayyiz, yaitu anak yang sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Anak-anak seperti ini puasanya sah dan pahalanya untuk dia sendiri serta orang tuanya.
c)      Suci dari haid dan nifas. Orang perempuan yang sedang dalam keadaan haid dan nifas tidak sah puasanya.
d)     Pada waktu yang dibolehkan berpuasa, puasa pada waktu yang terlarang seperti dua hari raya dan hari tasyrik adalah tidak sah.

3.      Rukun atau Fardu Puasa
a)      Niat untuk mengerjakan puasa
                        Niat puasa dilakukan pada malam hari setelah terbenam matahari sampai terbit fajar. Niat itu diucapkan di dalam hati, yaitu berniat untuk mengerjakan puasa Ramadhan pada esok harinya.
Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ ، وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ – وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ { لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ }
Artinya : Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah. An Nasai dan Tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini mauquf, hanya sampai pada sahabat (perkataan sahabat). Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbah menshahihkan haditsnya jika marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam riwayat Ad Daruquthni disebutkan, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika malam hari.”[6]
b)      Imsak
Menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
D.    Hal-hal yang Membatalkan Puasa
            Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan mesti ditinggalkan selama berpuasa itu ialah :
1.      Makan dan minum. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
...وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ...
Artinya : “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (QS. Al-Baqarah (2) : 187)
Dalam hal ini masuknya sesuatu rongga badan atau rongga kepala melalui jalan terbuka, mulut, hidung, atau telinga dianggap sama dengan makan dan membatalkan puasa.
Jadi bila orang yang puasa itu makan dan minum dengan sengaja, atas kemauan sendiri, sadar bahwa ia sedang berpuasa, dan tahu bahwa perbuatan itu haram, batal lah puasanya.
2.      Al-Huqnah, yakni memasukkan sesuatu ke dalam rongga melalui kemaluan dubur atau qubul.
3.      Muntah dengan sengaja, sekalipun diyakinkan tidak ada yang kembali masuk setelah keluar ke mulut. Akan tetapi, bila seseorang muntah dengan tidak sengaja, atau dengan sengaja, tetapi tidak mengetahuinya haramnya, atau muntah karena dipaksa, maka puasanya tidak batal.
4.      Bersetubuh, walaupun tidak sampai keluar mani.
5.      Keluar mani dengan sebab mubasyarah (sentuhan kulit tanpa alas), mencium, dan sebagainya. Akan tetapi keluar mani tanpa bersentuhan kulit, misalnya dengan sebab pandangan atau karena mimpi tidak membatalkan puasa.
6.      Haid. Para ulama telah ijma’ bahwa orang yang sedang haid haram, dan tidak sah berpuasa.
7.      Nifas. Nifas adalah darah haid yang terkumpul, dan tertunda keluarnya. Jadi hukumnya sama dengan darah haid.
8.       Gila, karena keadaan gila menghilangkan kecakapan beribadah.
9.      Riddah (murtad), karena orang kafir tidak sah melakukan ibadah.[7]

E.     Sunat Puasa
            Sunat puasa itu ada 4 perkara, antara lain sebagai berikut :
1.      Menyegerakan berbuka setelah terbenam matahari. Berbuka itu hendaklah dengan makan dan minum yang sederhana, jangan berlebih-lebihan.
2.      Mengakhirkan (melambatkan) makan sahur (dini hari), yaitu kira-kira pukul 3 malam sampai pukul 3.30.
3.      Bersedekah dan memanggil orang berbuka, bagi orang yang mampu.
4.      Memperbanyak ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, sembahyang malam (tarawih), mendo’a, dzikir dan sebagainya.

F. Faedah Puasa
Puasa itu besar sekali faedahnya, antara lain sebagai berikut :
1.      Seseorang yang berpuasa (menahan nafsu makan dan minum kira-kira 14 jam lamanya), tentu teringat dalam hati bahwa sewajibnya ia menolong dan membantu fakir miskin, yang merasa kelaparan dan kehausan, kadang-kadang sampai dua tiga hari lamanya.
2.      Menahan sifat kesabaran dalam hati karena orang yang terdidik menahan lapar dan haus, tentu akan berhati sabar menahan kesulitan atau kesengsaraan.
3.      Puasa itu untuk menenangkan perut supaya tidak selalu bekerja keras.
4.      Untuk mendidik seseorang supaya hemat berbelanja (tidak boros).

G.    Orang yang Mendapat Keringanan Berpuasa
            Sebuah majalah mingguan merilis sebuah pembahasan tentang puasa Ramadhan yang didalamnya membicarakan tentang beberapa orang yg diberi keringanan berpuasa yang bersumber dari buku panduan puasa ramadhan dibawah naungan al- quran dan as-sunnah. Berikut daftar orang yg diberi keringanan.
1.      Musafir
2.      Orang yang sakit
3.      Perempuan haidh
4.      Perempuan nifas
5.      Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa
6.      Perempuan hamil
7.      Perempuan yang sedang menyusui.[8]








BAB III
PENUTUP

a)        Kesimpulan
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk menjalankannya seperti dalam firman Allah dalam QS Al-Baqoroh ayat 183. Puasa yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga tergelincirnya matahari. Puasa juga memilik banyak keutamaan salah satunya dapat meningkatkan rasa sabar.




















DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Moh. Suyono. Fiqih Ibadah. cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1998.

Al-Ashqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Beirut: Dar al-Fikr.

Dzulkarnaen. Bedah Buku : Panduan Puasa Ramadhan Dibawah Naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Majalah An-Nashihah vol. VII. 2008.

Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Logos

Qardhawi, Yusuf. Fiqih Puasa. Surakarta: Era Intermedia. 2006.

Sulaiman, Rasjid. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2009.

Yunus, Mahmud. Puasa dan Zakat.cet. III. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 2001.



























PERTANYAAN

1.        (Khanifaul Husniati 111-14-032)
Apa maksud dari Rukyatul Hilal dan bagaimana  caranya ? apa yang yang dimaksud dengan Al-Huqnah? Dan apa yang dimaksud dengan Riddah ?
Jawab: Pengertian Rukyat adalah aktifitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtima’. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. (http://www.islampos.com/apa-itu-rukyat-hilal-dan-hsab-118165/).
Al-Huqnah adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga melalui kemaluan dubur atau qubul. (http://mytapin.blogspot.co.id/2012/07/puasa-di-bulan-ramadhan-hukumnya-wajib.html).
Sedangkan Riddah adalah keluar dari Islam baik dengan perkataan, perbuatan, maupun dengan keyakinan. (http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-islam.html).

2.        Yunita (111-14-219)
Pada saat Ramadhan seseorang sedang haid, kemudian di waktu subuh sudah selesai dalam haidnya. Apakah itu diperbolehkan untuk berpuasa apa tidak walaupun itu sudah mandi besar ?
Jawab: Hal ini puasanya sah bila haid seorang wanita telah berhenti sebelum subuh, sedangkan dia baru mandi suci setelah waktu subuh. Imam Malik bekata alam al-Mudawanah,”Jika seorang wanita melihat masa haidnya telah selesai sebelum terbit fajar (sebelum waktu subuh) kemudian mandi setelah terbit fajar (waktu subuh telah tiba), maka puasanya sah. Jadi seoranga wanita haid berhenti pada malam hari, kemudian fajar terbit sbeelum wanita mandi suci maka puasanya tetap  sah dan wajib puasa sehari penuh.

3.        Rizkiana (111-14-319)
Di dalam membatalkan puasa ada makan dan minum. Jika ada makanan yang tersisa pada gigi kemudian ditelan, hukum dari pernyataan tersebut bagaimana dan dalilnya karena saya telah mendengar dari salah satu dosen menyebutkan itu tidak batal ?
Jawab: Menelan sisa makanan yang ada di sela-sela gigi itu termasuk makan, maka dapat merusak puasa. Hal ini oarang yang berpuasa menelannya dengan sengaja yang sekiranya masih memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, namun sengaja ditelan. Adapun jika tiba-tiba masuk ketenggorokan dan tertelan dan tidak memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, maka hal ini tidak mengapa dan puasanya sah. Karena semua hal-hal yang membatalkan puasa disyaratkan bahwa melakukannya dengan sengaja. Ibnu qudamah rohimahullah berkata dalam kitab Al Mughni: “barang siapa yang waktu paginya mendapatkan makanan diantara giginya, maka tidak akan lepas dari dua kondisi, salah satunya adalah jika sedikit, tidak mungkin diludahkan lalu tertelan, maka haal itu tidak membatalkan puasa”. Jadi kalau memungkinkn baginya untuk mengeluarkan sisa makanan dari mulut, namun dia tidak melakukannya dan justru menelannya maka puasanya rusak. Kalau tertelan tanpa sengaja maka puasannya sah.
  
4.        Vivi Andriyani (111-14-369)
Pada saat bulan puasa,memakai obat mata hukumnya bagaimana dan merasakan makanan waktu memasak hukumnya bagaimana ?
Jawab: Memakai obat tetes mata ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa asalkan tetesan itu tidak masuk ke dalam tenggorokan dan perut. Karena pendapat yang sahih adalahtidak membatalkan puasa secara mutlak karena mata bukan jalur makanan. Tetapi untuk lebih hati-hati lebih baik tidak mengguakan disaat berpuasa. Dan ketika mencicipi masakan itu hukumnya tidak membatalkan puasa karena tidak ditelan, tetapi untuk lebih kehati-hatian dan keraguan lebih baik tidak mencicipinya ketika masih puasa.

5.        Nur Zum (111-14-055)
Pada saat seseorang mengalami Istikhadhoh waktu bulan puasa bagaimana hukumnya apakah tetap puasa atau tidak kemudian bagaimana puasanya ?
Jawab: Istikhadhoh merupakan peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Hal ini bukan sebuah penghalang untuk wanita muslim menjalankan ibadahnya setiap hari. Wanita yang mengalami istikhadhoh tetap menjalankan salat, puasa dan ibadah lainnya. Seperti hadis berikut:
Dari Aisyah r.a dia berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istikhadhoh banyak sekali. Bagaimana menurutmu ? Aku telah terhalang dengan sebab itu ari menunaikan salat dan puasa”. Dia berkata,”Aku akan tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena dia akan menutup aliran darahmu”. Dia berkata,”Darah tersbut terlalu deras. Kemudian di hadis tersebut Nabi bersabda:”Sesungguhnya darah tersbut tendangan-tendangan syetan, maka masa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah.” (H.R Ahmad Dawud, At-Tirmidzi dan dia mensahihkannya).
    


[1]Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, hlm. 183
[2]Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, Surakarta : Era Intermedia, 2006, hlm. 30
[3]Slamet Abidin, Moh. Suyono, Fiqih Ibadah., Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998, hlm. 241
[4]Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009, hlm, 221-223
[5]Slamet Abidin, Moh. Suyono, Fiqih Ibadah..., hlm. 248
[6]Ibnu Hajar al-Ashqolani. Bulughul Maram, Beirut: Dar Al-Fikr.
[7] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, hlm. 194
[8]Dzulkarnaen. ” Bedah Buku : Panduan Puasa Ramadhan Dibawah Naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah”. An-Nashihah. 2008. Hlm. 9-10.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Hesti...