FIQIH 1
“PUASA RAMADHAN”
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh 1
Dosen Pengampu : Imam Anas Hadi,
M.Pd.i.
Disusun
oleh :
1.
Wakhid Ahmad Kanafi
(111-14-182)
2.
Sarah Faradilla
Alfiana (111-14-198)
3.
Nizar Azim
Mustofa (111-14-200)
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah
SWT menciptakan manusia
agar mengenal dan
menyembah-Nya, menunaikan hak-hak rububiyah dan uluhiyah-Nya.
Karena itu, Islam menjadikan penghambaan
(ta’abud atau ‘ibadah) kepada
Allah sebagai kewajiban pertama
yang dituntut dari seorang Muslim. Rukun-rukun Islam, yang terdiri dari dua
kalimat syahadat, medirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan
pergi haji ke Baitullah, merupakan
perwujudan dari ta’abud kepada
Allah SWT.
Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan
suami istri (pada siang hari), dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak
terbit fajar sampai terbenam matahari. Berpuasa pada bulan Ramdhan ini
merupakan salah satu rukun Islam yang lima.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan puasa Ramadhan?
2.
Bagamiana cara menentukan ketentuan awal dan akhir
Ramadhan?
3.
Bagaimana cara pelaksanakan puasa?
4.
Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa?
5.
Apa sajakah faedah puasa?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian puasa Ramadhan
2.
Untuk mengetahui ketentuan awal dan akhir bulan Ramadhan
3.
Untuk mengetahui pelaksanaan berpuasa
4.
Untuk mengetahui hal-hal yang memabtalkan puasa
5.
Untuk mengetahui faeda-faedah puasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa Ramadhan
Puasa adalah terjemahan dari bahasa
Arab : shaum dan shiyam yang
berarti menahan (imsak) seperti Inni nazartu li al-Rahmani shawman.[1]
Menurut syara’ , puasa ialah
menahan diri dari beberapa perbuatan tertentu, dengan niat dan menurut aturan
tertentu pula.
Puasa Ramadhan
adalah kewajiban yang saklar dan ibadah Islam yang bersifat syi’ar
yang besar,
juga salah satu rukun Islam yang kelima, yang menjadi pilar agama ini.[2]
Wajibnya puasa ini telah dikukuhkan
dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {183}
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ …..{184}
Artinya : “Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sbelum kalian, agar kalian
bertakwa, (yaitu) beberapa hari yang tertentu….” (QS. Al-Baqarah : 183-184)
Kemudian firman Allah selanjutnya
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
Artinya
: “(Yaitu) bulan
Ramadhan yang padanya (mulai) diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia, dan penjelasan petunjuk itu dan pembeda. Maka barangsiapa di antara kalian melihat bulan itu, hendaklah
ia berpuasa…” (QS. Al-Baqarah: 185)
Di dalam hadist riwayat Bukhari dan
Muslim :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى
خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ
اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ
رَمَضَانَ
Artinya : Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin
Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam ditegakkan diatas lima (dasar, rukun) : Syahadah
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah Rasul Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, haji ke bait Allah, dan puasa Ramadhan.”
(HR.
Bukhori Muslim)
Puasa di bulan Ramadhan pertama kali
diwajibkan pada tahun kedua dari Hijrah Nabi SAW. Ia
wajibkan atas orang-orang yang sudah mukallaf (baligh dan berakal) dan
atas orang yang mampu mengerjakannya. Karena itu, tidaklah wajib puasa itu atas
:
1.
Anak-anak,
2.
Orang gila,
3.
Orang yang tidak suci (dari haid dan nifas)
4.
Orang yang hilang akal, sebab mabuk dan lain-lain,
5.
Orang yang sangat tua yang tidak kuat menjalankan puasa,
6.
Orang yang sakit bila puasa mungkin bertambah-tambahnya
sakitnya.[3]
B.
Ketentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan jumlah
bilangan hari dan waktu pelaksanaannya, yakni satu bulan penuh. Ada yang
berjumlah 30 hari ada pula yang berjumlah 29 hari.
Untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan dapat
ditempuh tiga cara, yaitu :
1.
Dengan cara rukyatul hilal, yaitu dengan melihat
bulan sabit tanggal satu bulan Qamariah dengan mata telanjang.
2.
Dengan cara istikmal, yaitu dengan menyempurnakan
bilangan hari dari bulan Sya’ban dan Ramadhan.
3.
Dengan cara hisab, yaitu dengan cara perhitungan
peredaran bulan dan matahari.
Sulaiman
Rasjid di dalam bukunya berpendapat bahwa cara menetapkan awal bulan Ramadhan
adalah
a) Dengan melihat bulan bagi yang melihatnya
sendiri.
b) Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga puluh hari,
c) Dengan adanya melihat (ru’yat) yang dipersaksikan
oleh seorang yang adil di muka hakim.
d) Dengan kabar mutawatir, yaitu kabar orang banyak,
sehingga mustahil mereka akan dapat bersepakat untuk berdusta.
e) Percaya kepada orang yang melihat.
f) Tanda-tanda yang biasa dilakukan di kota-kota
besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum) seperti lampu,
meriam, dan sebagainya.
g) Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab
(ilmu bintang).[4]
C.
Cara Pelaksanaan Puasa
Cara mengerjakan puasa , yaitu diawali dengan niat,
sahur, dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar
sampai terbenamnya matahari.[5]
Dalam melaksanakan ibadah puasa, disyaratkan melakukan
hal-hal sebagai berikut :
1.
Niat
Puasa harus dengan niat di dalam hati yang diucapkan pada
malam harinya (menjelang puasa). Sempurnanya niat harus jelas untuk berpuasa
besok, memenuhi kewajiban karena Allah Ta’ala.
2.
Makan sahur
Makan sahur menurut ijma’ umat Islam adalah sunah dan
tidak berdosa bila ditinggalkan. Waktu sahur adalah dari pertengahan malam
sampai terbit fajar dan di sunahkan mengakhirnya. Tujuan dari makan sahur
adalah untuk menguatkan orang yang berpuasa pada esok harinya.
3.
Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa
Orang yang berpuasa hendaklah menjaga diri dari hal-hal
yang membatalkannya, seperti makan, minum, bersenggama, muntah yang disengaja,
dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan puasa secara benar dan sah, terdapat
beberapa syarat dan rukun yang ditetapkan syara’:
1.
Syarat Wajib Puasa
Syarat-syarat wajib berpuasa adalah :
a)
Berakal sehat, orang gila dan hilang ingatannnya tidak
diwajibkan berpuasa.
b)
Baligh,
yaitu orang yang telah dewasa. Anak-anak tidak wajib berpuasa.
c)
Mampu (kuat) berpuasa, orang yang sudah tua atau sakit
yang tidak kuat berpuasa lagi, maka tidak diwajibkan berpuasa tetapi harus
membayar fidyah.
2.
Syarat Sah Puasa
a)
Islam, maka orang yang bukan Islam tidak sah berpuasa.
b)
Mumayyiz,
yaitu anak yang sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Anak-anak seperti ini puasanya sah dan pahalanya untuk dia sendiri serta orang
tuanya.
c)
Suci dari haid dan nifas. Orang perempuan yang sedang
dalam keadaan haid dan nifas tidak sah puasanya.
d)
Pada waktu yang dibolehkan berpuasa, puasa pada waktu
yang terlarang seperti dua hari raya dan hari tasyrik adalah tidak sah.
3.
Rukun atau Fardu Puasa
a) Niat
untuk mengerjakan puasa
Niat puasa dilakukan
pada malam hari setelah terbenam matahari sampai terbit fajar. Niat itu
diucapkan di dalam hati, yaitu berniat untuk mengerjakan puasa Ramadhan pada
esok harinya.
Rasulullah SAW
bersabda :
وَعَنْ
حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : { مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ }
رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إلَى تَرْجِيحِ
وَقْفِهِ ، وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ –
وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ { لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ }
Artinya
: Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada
puasa untuknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud,
Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah. An Nasai dan Tirmidzi berpendapat bahwa
hadits ini mauquf, hanya sampai pada sahabat (perkataan sahabat). Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibbah menshahihkan haditsnya jika marfu’ yaitu
sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam riwayat Ad
Daruquthni disebutkan, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika
malam hari.”[6]
b)
Imsak
Menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang
membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
D.
Hal-hal yang Membatalkan Puasa
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan mesti
ditinggalkan selama berpuasa itu ialah :
1.
Makan dan minum. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
...وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ...
Artinya : “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam” (QS. Al-Baqarah (2) : 187)
Dalam hal ini masuknya sesuatu rongga badan atau rongga
kepala melalui jalan terbuka, mulut, hidung, atau telinga dianggap sama dengan
makan dan membatalkan puasa.
Jadi bila orang yang puasa itu makan dan minum dengan
sengaja, atas kemauan sendiri, sadar bahwa ia sedang berpuasa, dan tahu bahwa
perbuatan itu haram, batal lah puasanya.
2.
Al-Huqnah, yakni memasukkan sesuatu ke dalam rongga
melalui kemaluan dubur atau qubul.
3.
Muntah dengan sengaja, sekalipun diyakinkan tidak ada
yang kembali masuk setelah keluar ke mulut. Akan tetapi, bila seseorang muntah
dengan tidak sengaja, atau dengan sengaja, tetapi tidak mengetahuinya haramnya,
atau muntah karena dipaksa, maka puasanya tidak batal.
4.
Bersetubuh, walaupun tidak sampai keluar mani.
5.
Keluar mani dengan sebab mubasyarah (sentuhan
kulit tanpa alas), mencium, dan sebagainya. Akan tetapi keluar mani tanpa
bersentuhan kulit, misalnya dengan sebab pandangan atau karena mimpi tidak
membatalkan puasa.
6.
Haid. Para ulama telah ijma’ bahwa orang yang sedang haid
haram, dan tidak sah berpuasa.
7.
Nifas. Nifas adalah darah haid yang terkumpul, dan
tertunda keluarnya. Jadi hukumnya sama dengan darah haid.
8.
Gila, karena
keadaan gila menghilangkan kecakapan beribadah.
9.
Riddah (murtad), karena orang kafir tidak sah melakukan
ibadah.[7]
E.
Sunat Puasa
Sunat puasa itu ada 4 perkara, antara lain sebagai
berikut :
1.
Menyegerakan berbuka setelah terbenam matahari. Berbuka
itu hendaklah dengan makan dan minum yang sederhana, jangan berlebih-lebihan.
2.
Mengakhirkan (melambatkan) makan sahur (dini hari), yaitu
kira-kira pukul 3 malam sampai pukul 3.30.
3.
Bersedekah dan memanggil orang berbuka, bagi orang yang
mampu.
4.
Memperbanyak ibadah, seperti membaca Al-Qur’an,
sembahyang malam (tarawih), mendo’a, dzikir dan sebagainya.
F. Faedah Puasa
Puasa itu besar sekali faedahnya, antara lain sebagai
berikut :
1.
Seseorang yang berpuasa (menahan nafsu makan dan minum
kira-kira 14 jam lamanya), tentu teringat dalam hati bahwa sewajibnya ia
menolong dan membantu fakir miskin, yang merasa kelaparan dan kehausan,
kadang-kadang sampai dua tiga hari lamanya.
2.
Menahan sifat kesabaran dalam hati karena orang yang
terdidik menahan lapar dan haus, tentu akan berhati sabar menahan kesulitan
atau kesengsaraan.
3.
Puasa itu untuk menenangkan perut supaya tidak selalu
bekerja keras.
4.
Untuk mendidik seseorang supaya hemat berbelanja (tidak
boros).
G.
Orang
yang Mendapat Keringanan Berpuasa
Sebuah majalah
mingguan merilis sebuah pembahasan tentang puasa Ramadhan yang didalamnya
membicarakan tentang beberapa orang yg diberi keringanan berpuasa yang
bersumber dari buku panduan puasa ramadhan dibawah naungan al- quran dan
as-sunnah. Berikut daftar orang yg diberi keringanan.
1.
Musafir
2.
Orang yang sakit
3.
Perempuan haidh
4.
Perempuan nifas
5.
Laki-laki dan perempuan tua yang
tidak mampu berpuasa
6.
Perempuan hamil
7.
Perempuan yang sedang menyusui.[8]
BAB III
PENUTUP
a)
Kesimpulan
Puasa Ramadhan
merupakan salah satu rukun Islam dan wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk
menjalankannya seperti dalam firman Allah dalam QS Al-Baqoroh ayat 183. Puasa
yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga tergelincirnya matahari. Puasa juga memilik banyak keutamaan
salah satunya dapat meningkatkan rasa sabar.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Moh. Suyono. Fiqih
Ibadah. cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1998.
Al-Ashqolani, Ibnu Hajar. Bulughul
Maram. Beirut: Dar al-Fikr.
Dzulkarnaen. Bedah Buku : Panduan Puasa Ramadhan
Dibawah Naungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Majalah An-Nashihah vol. VII.
2008.
Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Logos
Qardhawi, Yusuf. Fiqih Puasa. Surakarta: Era Intermedia. 2006.
Sulaiman, Rasjid. Fiqih Islam. Bandung:
Sinar Baru Algesindo. 2009.
Yunus, Mahmud. Puasa dan Zakat.cet. III. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 2001.
PERTANYAAN
1.
(Khanifaul Husniati 111-14-032)
Apa maksud dari Rukyatul Hilal dan bagaimana caranya ? apa yang yang dimaksud dengan
Al-Huqnah? Dan apa yang dimaksud dengan Riddah ?
Jawab: Pengertian Rukyat adalah aktifitas mengamati
visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah
terjadinya ijtima’. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan
alat bantu optik seperti teleskop. (http://www.islampos.com/apa-itu-rukyat-hilal-dan-hsab-118165/).
Al-Huqnah adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga
melalui kemaluan dubur atau qubul. (http://mytapin.blogspot.co.id/2012/07/puasa-di-bulan-ramadhan-hukumnya-wajib.html).
Sedangkan Riddah adalah keluar dari Islam baik dengan
perkataan, perbuatan, maupun dengan keyakinan. (http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-islam.html).
2.
Yunita (111-14-219)
Pada saat Ramadhan seseorang sedang haid, kemudian di
waktu subuh sudah selesai dalam haidnya. Apakah itu diperbolehkan untuk
berpuasa apa tidak walaupun itu sudah mandi besar ?
Jawab: Hal ini puasanya sah bila haid seorang wanita
telah berhenti sebelum subuh, sedangkan dia baru mandi suci setelah waktu
subuh. Imam Malik bekata alam al-Mudawanah,”Jika seorang wanita melihat masa
haidnya telah selesai sebelum terbit fajar (sebelum waktu subuh) kemudian mandi
setelah terbit fajar (waktu subuh telah tiba), maka puasanya sah. Jadi seoranga
wanita haid berhenti pada malam hari, kemudian fajar terbit sbeelum wanita
mandi suci maka puasanya tetap sah dan
wajib puasa sehari penuh.
3.
Rizkiana (111-14-319)
Di dalam
membatalkan puasa ada makan dan minum. Jika ada makanan yang tersisa pada gigi
kemudian ditelan, hukum dari pernyataan tersebut bagaimana dan dalilnya karena
saya telah mendengar dari salah satu dosen menyebutkan itu tidak batal ?
Jawab: Menelan sisa
makanan yang ada di sela-sela gigi itu termasuk makan, maka dapat merusak
puasa. Hal ini oarang yang berpuasa menelannya dengan sengaja yang sekiranya
masih memungkinkan baginya untuk mengeluarkannya, namun sengaja ditelan. Adapun
jika tiba-tiba masuk ketenggorokan dan tertelan dan tidak memungkinkan baginya
untuk mengeluarkannya, maka hal ini tidak mengapa dan puasanya sah. Karena
semua hal-hal yang membatalkan puasa disyaratkan bahwa melakukannya dengan
sengaja. Ibnu qudamah rohimahullah berkata dalam kitab Al Mughni: “barang siapa
yang waktu paginya mendapatkan makanan diantara giginya, maka tidak akan lepas
dari dua kondisi, salah satunya adalah jika sedikit, tidak mungkin diludahkan
lalu tertelan, maka haal itu tidak membatalkan puasa”. Jadi kalau memungkinkn
baginya untuk mengeluarkan sisa makanan dari mulut, namun dia tidak
melakukannya dan justru menelannya maka puasanya rusak. Kalau tertelan tanpa
sengaja maka puasannya sah.
4.
Vivi Andriyani (111-14-369)
Pada saat bulan
puasa,memakai obat mata hukumnya bagaimana dan merasakan makanan waktu memasak
hukumnya bagaimana ?
Jawab: Memakai obat
tetes mata ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa asalkan tetesan itu
tidak masuk ke dalam tenggorokan dan perut. Karena pendapat yang sahih adalahtidak
membatalkan puasa secara mutlak karena mata bukan jalur makanan. Tetapi untuk
lebih hati-hati lebih baik tidak mengguakan disaat berpuasa. Dan ketika
mencicipi masakan itu hukumnya tidak membatalkan puasa karena tidak ditelan,
tetapi untuk lebih kehati-hatian dan keraguan lebih baik tidak mencicipinya
ketika masih puasa.
5.
Nur Zum (111-14-055)
Pada saat seseorang
mengalami Istikhadhoh waktu bulan puasa bagaimana hukumnya apakah tetap
puasa atau tidak kemudian bagaimana puasanya ?
Jawab: Istikhadhoh
merupakan peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Hal ini bukan sebuah penghalang
untuk wanita muslim menjalankan ibadahnya setiap hari. Wanita yang mengalami
istikhadhoh tetap menjalankan salat, puasa dan ibadah lainnya. Seperti hadis
berikut:
Dari Aisyah r.a dia
berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
mengalami istikhadhoh banyak sekali. Bagaimana menurutmu ? Aku telah terhalang
dengan sebab itu ari menunaikan salat dan puasa”. Dia berkata,”Aku akan
tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena
dia akan menutup aliran darahmu”. Dia berkata,”Darah tersbut terlalu deras.
Kemudian di hadis tersebut Nabi bersabda:”Sesungguhnya darah tersbut
tendangan-tendangan syetan, maka masa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan
ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih
(dari haidmu) dan berpuasalah.” (H.R Ahmad Dawud, At-Tirmidzi dan dia
mensahihkannya).
[1]Lahmuddin Nasution, Fiqh
1, hlm. 183
[4]Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Sinar Baru
Algesindo, Bandung, 2009, hlm, 221-223
[6]Ibnu Hajar al-Ashqolani. Bulughul Maram,
Beirut: Dar Al-Fikr.
[8]Dzulkarnaen. ” Bedah Buku : Panduan Puasa Ramadhan Dibawah Naungan
Al-Qur’an dan As-Sunnah”. An-Nashihah. 2008. Hlm. 9-10.
No comments:
Post a Comment