Sunday, May 29, 2016

MAKALAH I'TIBAR DALAM ULUMUL HADITS

I’TIBAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah mari senantiasa kita curahkan kepada Allah SWT, karena atas bimbingan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ulumul Hadis dengan judul “Melakukan I’tibar dan Menilai Periwayatan Hadis”. Sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, sahabiyah, tabi’in, dan orang-orang yang tetap istiqomah di jalan islam, dan semoga kita termasuk umat yang beruntung.
            Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang atas dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan  makalah ini. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan sebagai bahan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.



                                                                                    September 2015
                                                                                               
                                                                                    Pemakalah









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadits dari dokumen sejarah lainnya di dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadits-hadits tersebut, yang disebut sanad. Dengan ketelitian, semangat kerja yang tinggi, dan profesional, khususnya para penulis kitab hadits, sanad hadits satu persatu terdokumentasikan secara urut.[1]
Ulama Hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting dalam riwayat hadis. Sebagai konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadis yang tidak memiliki sanad, oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian I’tibar?
2.      Apakah manfaat melakukan I’tibar ?
3.      Pengertian periwayatan hadis?
4.      Bagaimana cara menerima hadis?
5.      Bagaimana cara-cara meriwayatkan hadis?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian I’tibar.
2.      Untuk mengetahui manfaat melakukan I’tibar.
3.      Untuk mengetahui periwayatan hadis.
4.      Untuk memahami dan mengetahui cara menerima hadis.
5.      Untuk memahami dan mengetahui cara-cara meriwayatkan hadis.


BAB II
 PEMBAHASAN
A.           Definisi I’tibar
Kata al-i’tibar (الإعتبار) merupakan masdar dari kata اعتبر (i’tabaro). Menurut bahasa, arti al-i’tibar adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis”. Menurut istilah ilmu hadits, al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu,  yang hadits itu pada bagian sanad-nya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.[2]
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis besandar kepadanya. Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad (menyandarkan, mengembalikan ke asal, dan mengangkat), al-musnid (hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang), dan al-musnad (nama bagi hadis marfu’ dan muttashil).[3]
B.            Manfaat Melakukan I’tibar
Suatu sumber berurusan dengan sanad dan matan, di samping juga persoalan detailnya seperti : dari siapa sesungguhnya hadits diterima, siapa yang membawanya sehingga terhubung kepada Nabi Muhammad SAW; juga keaslian sumber (sanad serta matan) yang telah dibawanya. Hadits yang asli diterima dari Nabi Muhammad SAW, dengan mata rantai periwayat dan materi yang diterima secara meyakinkan merupakan maksud utama studi, sedang yang tidak asli menjadi jelas ketidakasliannya.[4]
Dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid. Melalui al-i’tibar dapat diketahui apakah sanad hadits yang diteliti memiliki mutabi’ dan syahid ataukah tidak.

C.           Pengertian Periwayatan Hadis
Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[5]
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apabila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut[6]
Dalam meriwayatkan suatu hadis ada beberapa kriteria yang harus di penuhi adalah :
1.             Islam
Hadis yang diriwayatkan dari orang yang bukan beragama islam maka tidak dapat diterima.
2.             Baligh dan berakal sehat
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang bukan mukhallaf tidak dapat diterima.
3.             ‘Adalah
‘adalah atau adil ialah sifat yang melekat pada seorang yang meriwayatkan hadis sehingga ia selalu setia terhadap islam.
4.             Al-Dhabt
Al-Dhabt ialah teliti dan cermat baik ketika menerima pelajaran hadis ataupun menyampaikannya.[7]
D.           Cara Menerima Riwayat Hadis
Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam, yaitu:
1.        Al- Sima’
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.
Menurut Al- Qadhi ‘Iyad, yang dikutip oleh Al- Suyuthi, di dalam cara (sama’) ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawy dalam meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:
 حَدَّثَنَ                      (seseorang telah menceritakan kepada kami)
أخْبَرَنَا                     (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
أَنْبَأَنَا                       (seseorang telah memberitakan kepada kami)
سَمِعْتُ فُلاَنًا               (saya telah mendengar seseorang)
قَا لَ لَنَا فُلاَنًا              (seseorang telah berkata kepada kami)
ذَكَرَلَنَا فُلاَنًا               (seseorang telah menuturkan kepada kami).
2.        Al- Qira’ah ‘Ala Al- Syaikh atau ‘Aradh Al- Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tatapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
3.        Al- Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatka hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kaepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti :
اَجَزْ تُ لَكَ اَنْ تَرْوِيَ عَنَّى      
(saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
Paraulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah ini di anggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama’ yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar di ingkari.
Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam. sedangkan Ibnu Al-Shalih menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. ketujuh ijazah tersebut adalah :
a)      Seorang guru mengijazahkan kepada seorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah ini diperbolehkan menurut jumhur.
b)      bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara ini diperbolehkan jumhur
c)      bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum Muslim atau kepada orang-orang yang ada(hadir)”.
d)     Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara ini dianggap fasiq (rusak).
e)      Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah ini adalah tidak sah.
f)       Bentuk al-ijazahmengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara ini dianggap batal.
g)      Bentuk Al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk seperti ini yang diperbolehkan.
4.        Al-Munawalah
yakni seorang guru memberikan hadis ataubeberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberikan kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokan, sambil berkata “inilah hadis-hadis yang  sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazah”
a)         Munawalah, adalah seorang guru memberikan sebuah naskah asli atau salinan yang sudah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
b)        Mukatabah
Seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada dihadapannya.
Al-Mukaatabah ada dua macam :
a.         Al-mukaatabah yang disertai dengan ijazah yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan disertai dengan kata-kata”ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan(izin)-kan kepadamu untuk kamuriwayatkan kepada orang lain”.
b.         Al-mukaatabah yang tidak disertai dengan ijazah, yaitu guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada muridnya  dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al Mukataabah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama’.
5.        Al- Wijadah
Memperoleh tuisan hadis orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadh sama’, qira’ah, atau al-Munaawalah.
6.        Washiyah
Pesan seseorang dikala akan mati atau bepergian dengan sebuah kitab agar diriwayatkan.
7.        I’lam, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiriyang diteriama dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan (menyuruh) muridnya untuk meriwayatkannya.[8]
E.     Cara Meriwayatkan Suatu Hadis
      Untuk meriwayatkan suatu hadis, dapat dilakukan dengan mengunakan lafad-lafadnya.
1.      Lafad-lafad untuk meriwayatkan hadis
Cara para perawi berbeda-beda dalam menerima hadis, maka beda pula cara meriwayatkannya. Lafad dalam meriwayatkan hadis dibagi menjadi dua:
a.       Lafad periwayat hadis yang mendengar langsung dari gurunya
سَمِعْتُ، سَمِعْنَا , saya telah mendengar....... kami telah mendengar....
Kemudian حَدَّثَنِى، حَدَّثَنَا, seseorang telah bercerita kepadaku.... seseorang telah bercerita kepada kami.....
b.      Lafad riwayat bagi rawi yang yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri. رُوِىَ، حُكِىَ، عَنْ، اَنْ  (diriwayatkan oleh....., dihikayatkan oleh....dari... bahwasannya...)
2.      Hadis Mu’an’an dan hadis Muanan
Jika seorang perawi meriwayatkan hadis dengan lafad ‘an (dari) hadisnya disebut hadis Mu’an’an, dan disebut mu’an’in. Dan jika seorang rawi menggunakan lafad anna (bahwasanya), hadis disebut Mu-annan, dan ia disebut Muannin.[9]
























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
           Al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu,  yang hadits itu pada bagian sanad-nya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.
           Kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid.
           Dalam meriwayatkan suatu hadis ada beberapa kriteria yang harus di penuhi adalah islam, baligh, berakal sehat ,‘adalah, al-dhabt.
Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadits menjadi delapan macam, yaitu: Al- Sima’, Al- Qira’ah ‘Ala Al- Syaikh atau ‘Aradh Al- Qira’ah, Al- Ijazah, Al-Munawalah, Al- Wijadah,Washiyah.

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah dengan judul “Melakukan I’tibar dan Menilai Periwayatan Hadis” ini, masih jauh dari kata sempurna, masukan yang membangun kami harapkan dari para pembaca untuk bahan perbaikan dimasa mendatang.




DAFTAR PUSTAKA
Juynboll. Kontroversi  Hadis di Mesir. 1999. Bandung: Mizan Anggota.
M. Erfan Soebahar. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah. 2003. Jakarta: Kencana.
M. Solahudin, dkk. Cet 1 Ulumul Hadis. 2009. Bandung: CV Pustaka Setya
Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Hadis. 1995 Jakarta: PT Bulan Bintang.
Muh Zuhri, Hadis Nabi. 1997.Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. 2010. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Musthafa Al-Siba’I. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. 1993.Jakarta: Pustaka Firdaus.



1 Musthafa Al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 56.   
[2] M. Solahudin, dkk. Cet 1 Ulumul Hadis. (Bandung: CV Pustaka Setya,2009), hlm 14

3 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.45-46.
2 M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, (Jakarta:Kencana, 2003), hlm. 174
3 Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis ( Cet. 2; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 23.
[6] G. H. A . Juynboll, Kontroversi  Hadis di Mesir (Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999), h. 167.
[7] Muh. Zuhri. Hadis Nabi (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1997), hlm. 110
[8]  Munzier Suparta . Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 198
[9] Buku merah

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Hesti...