I’TIBAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
mari senantiasa kita curahkan kepada Allah SWT, karena atas bimbingan rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ulumul Hadis dengan judul “Melakukan
I’tibar dan Menilai Periwayatan Hadis”. Sholawat serta salam kita haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, sahabiyah, tabi’in, dan orang-orang
yang tetap istiqomah di jalan islam, dan semoga kita termasuk umat yang
beruntung.
Pada kesempatan kali ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang atas dukungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang membangun
sangat kami harapkan sebagai bahan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
September
2015
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadits dari dokumen sejarah lainnya
di dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan
hadits-hadits tersebut, yang disebut sanad. Dengan ketelitian, semangat kerja
yang tinggi, dan profesional, khususnya para penulis kitab hadits, sanad hadits
satu persatu terdokumentasikan secara urut.[1]
Ulama Hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting dalam
riwayat hadis. Sebagai konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadis
yang tidak memiliki sanad, oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian I’tibar?
2.
Apakah manfaat melakukan I’tibar ?
3.
Pengertian periwayatan hadis?
4.
Bagaimana cara menerima hadis?
5.
Bagaimana cara-cara meriwayatkan hadis?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian I’tibar.
2.
Untuk mengetahui manfaat melakukan I’tibar.
3.
Untuk mengetahui periwayatan hadis.
4.
Untuk memahami dan mengetahui cara menerima hadis.
5.
Untuk memahami dan mengetahui cara-cara meriwayatkan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi I’tibar
Kata al-i’tibar
(الإعتبار)
merupakan masdar dari kata اعتبر (i’tabaro).
Menurut bahasa, arti al-i’tibar adalah “peninjauan terhadap berbagai hal
dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis”. Menurut istilah ilmu hadits, al-i’tibar
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanad-nya
tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad
yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah
tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.[2]
Kata “Sanad”
menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran.
Dikatakan demikian, karena hadis besandar kepadanya. Yang berkaitan dengan
istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad (menyandarkan,
mengembalikan ke asal, dan mengangkat), al-musnid (hadits yang disandarkan
atau diisnadkan oleh seseorang), dan al-musnad (nama bagi hadis marfu’ dan muttashil).[3]
B.
Manfaat Melakukan I’tibar
Suatu sumber berurusan dengan sanad dan matan,
di samping juga persoalan detailnya seperti : dari siapa sesungguhnya hadits
diterima, siapa yang membawanya sehingga terhubung kepada Nabi Muhammad SAW;
juga keaslian sumber (sanad serta matan) yang telah dibawanya.
Hadits yang asli diterima dari Nabi Muhammad SAW, dengan mata rantai periwayat
dan materi yang diterima secara meyakinkan merupakan maksud utama studi, sedang
yang tidak asli menjadi jelas ketidakasliannya.[4]
Dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas
seluruh jalur sanad hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama
periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat
yang bersangkutan. Jadi kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad
hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat
yang berstatus mutabi’ atau syahid. Melalui al-i’tibar
dapat diketahui apakah sanad hadits yang diteliti memiliki mutabi’
dan syahid ataukah tidak.
C.
Pengertian Periwayatan Hadis
Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al-
Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses
kegiatan yang di namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat,
yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau
periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan
riwayat.[5]
Menurut istilah ilmu
hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian
para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak
meriwayatkan hadis tersebut apabila menghilangkan kata-kata atau menambahkan
atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yang hanya
sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut[6]
Dalam meriwayatkan
suatu hadis ada beberapa kriteria yang harus di penuhi adalah :
1.
Islam
Hadis yang diriwayatkan
dari orang yang bukan beragama islam maka tidak dapat diterima.
2.
Baligh dan berakal sehat
Hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang bukan mukhallaf tidak dapat diterima.
3.
‘Adalah
‘adalah atau adil ialah
sifat yang melekat pada seorang yang meriwayatkan hadis sehingga ia selalu
setia terhadap islam.
4.
Al-Dhabt
Al-Dhabt ialah teliti
dan cermat baik ketika menerima pelajaran hadis ataupun menyampaikannya.[7]
D.
Cara Menerima Riwayat Hadis
Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu
periwayatan hadits menjadi delapan macam, yaitu:
1.
Al- Sima’
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri
dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari
tulisannya.
Menurut Al- Qadhi ‘Iyad, yang dikutip oleh Al- Suyuthi, di dalam
cara (sama’) ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawy dalam
meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:
حَدَّثَنَ (seseorang
telah menceritakan kepada kami)
أخْبَرَنَا (seseorang telah
mengabarkan kepada kami)
أَنْبَأَنَا (seseorang telah
memberitakan kepada kami)
سَمِعْتُ فُلاَنًا (saya telah mendengar seseorang)
قَا لَ لَنَا فُلاَنًا (seseorang telah berkata kepada
kami)
ذَكَرَلَنَا فُلاَنًا (seseorang telah menuturkan
kepada kami).
2.
Al- Qira’ah ‘Ala Al- Syaikh atau ‘Aradh Al- Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan
hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain,
sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun
tidak tatapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia
tergolong tsiqqah.
3.
Al- Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatka hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu,
sekalipun murid tidak membacakan kaepada gurunya atau tidak mendengar bacaan
gurunya, seperti :
اَجَزْ تُ لَكَ اَنْ تَرْوِيَ عَنَّى
(saya
mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
Paraulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai
cara untuk meriwayatkan hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan
hadis dengan menggunakan ijazah ini di anggap bid’ah dan tidak diperbolehkan
dan bahkan ada sebagian ulama’ yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar di
ingkari.
Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam. sedangkan
Ibnu Al-Shalih menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. ketujuh
ijazah tersebut adalah :
a)
Seorang guru mengijazahkan kepada seorang tertentu atau kepada
beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan
kepada mereka. Al-ijazah ini diperbolehkan menurut jumhur.
b)
bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang
tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk
kamu riwayatkan dariku”. Cara ini diperbolehkan jumhur
c)
bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada
kaum Muslim atau kepada orang-orang yang ada(hadir)”.
d)
Bentuk ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan
sesuatu yang tidak tertentu. Cara ini dianggap fasiq (rusak).
e)
Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan
bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah ini adalah tidak sah.
f)
Bentuk al-ijazahmengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau
dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kamu
untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara ini dianggap
batal.
g)
Bentuk Al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan
kepadamu ijazahku”. Bentuk seperti ini yang diperbolehkan.
4.
Al-Munawalah
yakni seorang guru memberikan hadis ataubeberapa hadis atau sebuah
kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa
al-munawalah ialah seorang guru memberikan kepada seorang murid, kitab asli
yang didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokan, sambil
berkata “inilah hadis-hadis yang sudah
saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazah”
a)
Munawalah, adalah seorang guru memberikan sebuah naskah asli atau
salinan yang sudah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
b)
Mukatabah
Seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk
menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada dihadapannya.
Al-Mukaatabah ada dua macam :
a.
Al-mukaatabah yang disertai dengan ijazah yaitu sewaktu sang guru
menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan disertai
dengan kata-kata”ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya
ijazahkan(izin)-kan kepadamu untuk kamuriwayatkan kepada orang lain”.
b.
Al-mukaatabah yang tidak disertai dengan ijazah, yaitu guru menuliskan
hadis untuk diberikan kepada muridnya
dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al
Mukataabah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama’.
5.
Al- Wijadah
Memperoleh
tuisan hadis orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadh sama’,
qira’ah, atau al-Munaawalah.
6.
Washiyah
Pesan seseorang dikala akan mati atau bepergian dengan sebuah kitab
agar diriwayatkan.
7.
I’lam, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang
diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiriyang diteriama dari guru seseorang,
dengan tidak mengatakan (menyuruh) muridnya untuk meriwayatkannya.[8]
E.
Cara Meriwayatkan Suatu Hadis
Untuk meriwayatkan suatu hadis, dapat dilakukan dengan
mengunakan lafad-lafadnya.
1. Lafad-lafad
untuk meriwayatkan hadis
Cara para perawi berbeda-beda dalam menerima hadis, maka beda pula
cara meriwayatkannya. Lafad dalam meriwayatkan hadis dibagi menjadi dua:
a. Lafad periwayat
hadis yang mendengar langsung dari gurunya
سَمِعْتُ، سَمِعْنَا , saya telah mendengar....... kami
telah mendengar....
Kemudian
حَدَّثَنِى، حَدَّثَنَا,
seseorang telah bercerita kepadaku.... seseorang telah bercerita kepada
kami.....
b.
Lafad riwayat
bagi rawi yang yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri. رُوِىَ، حُكِىَ،
عَنْ، اَنْ (diriwayatkan oleh....., dihikayatkan oleh....dari...
bahwasannya...)
2.
Hadis Mu’an’an dan hadis Muanan
Jika seorang perawi meriwayatkan hadis dengan lafad ‘an (dari)
hadisnya disebut hadis Mu’an’an, dan disebut mu’an’in. Dan jika seorang rawi
menggunakan lafad anna (bahwasanya), hadis disebut Mu-annan, dan ia
disebut Muannin.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk suatu hadits tertentu,
yang hadits itu pada bagian sanad-nya
tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad
yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah
tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.
Kegunaan al-i’tibar
adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada
atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau
syahid.
Dalam meriwayatkan suatu
hadis ada beberapa kriteria yang harus di penuhi adalah islam, baligh, berakal
sehat ,‘adalah, al-dhabt.
Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu
periwayatan hadits menjadi delapan macam, yaitu: Al- Sima’, Al- Qira’ah ‘Ala
Al- Syaikh atau ‘Aradh Al- Qira’ah, Al- Ijazah, Al-Munawalah, Al- Wijadah,Washiyah.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah dengan judul “Melakukan I’tibar dan
Menilai Periwayatan Hadis” ini, masih jauh dari kata sempurna, masukan yang
membangun kami harapkan dari para pembaca untuk bahan perbaikan dimasa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Juynboll. Kontroversi
Hadis di Mesir. 1999. Bandung: Mizan Anggota.
M. Erfan Soebahar. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah. 2003.
Jakarta: Kencana.
M. Solahudin, dkk. Cet 1 Ulumul Hadis. 2009. Bandung: CV
Pustaka Setya
Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Hadis. 1995 Jakarta: PT
Bulan Bintang.
Muh Zuhri, Hadis Nabi. 1997.Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. 2010. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Musthafa Al-Siba’I. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. 1993.Jakarta:
Pustaka Firdaus.
No comments:
Post a Comment