Sunday, May 29, 2016

MAKALAH TAWAKAL DAN ZUHUD



TAWAKAL DAN ZUHUD
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawuf 2
Dosen Pengampu: Inna Faizatal Ngazizah, S.H.I., M.H.I.


  

Disusun Oleh:
Aisyah                              (111-14-021)
Nur Cahyati                      (111-14-150)
Nizar Azim                       (111-14-200)  



FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Dewasa ini salah satu penyakit ruhani yang sering menjangkit orang muslim ialah terlalu canta dunia dan takut mati dan sombong dengan usahanya, maka dari itu untuk membersihkan penyakit ruhani tersebut, ialah hanya dengan berperilaku zuhud dan tawakkal. Sifat zuhud dan tawakkal merupakan kedua sifat yang terpuji, kedua sifat tersebut merupakan sifat yang berpengaruh baik bagi kehidupan umat muslim saat ini, yaitu terhindar dari cinta dunia secara berlebihan dan akan membentuk peribadi yang selalu pasrah atas kehendak Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari sifat zuhud dan tawakkal perlu dimiliki oleh setiap orang muslim, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat muslim dianjurkan untuk senantiasa memiliki sifat tersebut. Sifat zuhud dan tawakal juga menjadi benteng bagi kita dari penyakit yang sangat berbahaya yaitu Wahn “cinta dunia dan takut mati”. Karena jikalau sudah terjangkit akan membawa malapetaka bagi kita. Dalam makalah ini akan kami paparkan lebih jelas lagi tentang sifat tawakal dan zuhud.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian zuhud dan tawakkal?
2.      Seperti apakah contoh perilaku zuhud dan tawakkal?
3.      Bagaimanakah membiasakan perilaku zuhud dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari?
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian zuhud dan tawakkal
2.      Mengetahui contoh perilaku zuhud dan tawakkal
3.      Mengetahui membiasakan perilaku zuhud dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari





BAB II
PEMBAHASAN
A.    TAWAKAL
1.      PENGERTIAN TAWAKAL
Menurut bahasa tawakal berasal dari kata dasar wakkala yang artinya mewakilkan atau menyerahkan. Yakni mewakilkan atau menyerahkan suatu urusan kepada orang lain yang karena sesuatu hal dirinya tidak bisa melakukannya. Sedangkan menurut istilah tawakal adalah berserah diri kepada Allah dalam menghadapi suatu pekerjaan atau keadaan. Dalam penerapannya tawakal merupakan tumpuan terakhir dalam suatu usaha dan perjuangan, artinya berserah diri kepada Allah (tawakal) itu sesudah melakukan ikhtiar nyata semaksimal mungkin sesuai kemampuan.
Tawakkal ialah menyerahkan, menyandarkan diri kepada Allah setelah melakukan usaha atau ikhtiar dalam mengharapkan pertolongan-Nya. Tawakkal dalam ajaran Islam bukan suatu pelarian bagi orang-orang yang gagal usahanya, tetapi tawakkal itu adalah tempat kembalinya segala usaha. Tawakkal bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha, tetapi menyerahkan diri pada Allah itu pertanda taat kepada-Nya setelah berusaha. Jika pasrah itu merupakan sifat malas dan putus asa, jelas dilarang oleh Allah.[1][5]
Ibnu Ujaibah mengatakan, “Tawakkal adalah percaya sepenuh hati terhadap Allah, sampai dia tidak bergantung kepada sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, tawakkal adalah bergantung dan bertumpu kepada Allah dalam segala sesuatu, berdasarkan pengetahuan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Selain itu, tawakkal juga menuntut subjek untuk melebihkan semua yang ada dalam kekuasaan Allah lebih percaya daripada yang ditangan subjek.”[2][6]
Tawakkal maksudnya ialah berserah diri kepada Allah dan menerima apa saja yang telah ditentukannya. Tetapi dengan cara berusaha (ikhtiar) sekuat tenaga dan disertai dengan doa. Satu kesalahan yang tidak dapat dibenarkan apabila ada yang berkata, bahwa tawakkal itu meninggalkan usaha. Hal ini disebutkan dalam salah satu hadits, bahwasanya suatu hari Rasulullah melihat orang baduwi melepas untanya tanpa diikat, ketika ditanya kepadanya mengapa kamu berbuat demikian, si baduwi menjawab, “saya tawakkal kepada Allah”. Lalu  Rasulullah bersabda, “bukan itu yang disebut tawakkal, tetapi ikatlah dahulu. Kemudian baru tawakkal”.[3][7]
Biasanya kata tawakkal dihubungkan dengan istilah ikhtiar. Ikhtiar adalah berusaha. Semua orang sudah ditentukan rezekinya, kita tinggal memperolehnya. Tentu saja rezeki itu tidak bisa diperoleh hanya dengan berpangku tangan, tetapi harus dengan ikhtiar atau usaha.[4][8]
Allah memberikan contoh pada kita tentang makhluk Allah yang tidak memiliki akal sempurna tetapi mampu bertahan hidup yaitu hewan, contohnya seekor burung yang pergi dari sarangnya dalam keadaan lapar setelah itu mereka pulang dalam keadaan kenyang, maksudnya ialah tawakkal kepada Allah bukannya berarti menghilangkan usaha, melainkan tawakkal harus diimbangi dengan ikhtiar, karena tawakkal tanpa ikhtiar adalah tidak sah, kita diajarkan untuk bertawakkal pada Allah.
Adapun Tingkatan tawakkal berdasarkan tingkatannya dibagi menjadi beberapa tingkatan, diantaranya :
§  Tawakkalul wakil, artinya seseorang yang mempercayakan urusannya kepada sang wakil yaitu Allah Swt. tawakkal seperti ini dilakukan oleh mukmin biasa.
§  Tawakkal Taslim, artinya seseorang yang tidak membutuhkan sesuatu selain Allah Swt. Tingkatan tawakkal seperti ini adalah tawakkalnya para Nabi/Rasul.
2.      Contoh Perilaku Tawakal
a.       Selalu mensyukuri nikmat Allah
b.       Tidak pernah berkeluh kesah dan gelisah
c.       Selalu berusaha dan berikhtiar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
d.      Menerima segala ketentuan Allah dengan rida
e.       Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain
f.       Tidak pernah merasa iri terhadap nikmat yang diperoleh orang lain
3.      Fungsi Tawakal dalam Kehidupan
a.       Tidak mudah putus asa jika gagal dalam usaha.
b.      Lebih tenang dalam menjalan kehidupan
c.       Terhindar dari rasa sedih yang berkepanjangan
d.      Jika berasil dalam usaha tidak bergembira yang berlebihan
e.       Tidak menjadi orang yang takabur
B.     ZUHUD
1.      PENGERTIAN ZUHUD
Pengertian Zuhud Secara bahasa kata zuhud berasal dari bahasa Arab زَÙ‡َدَ- ÙŠَزْÙ‡َدُ-زُÙ‡ْدً berarti “meninggalkan”. Orang yang zuhud disebut Zahid. Menurut istilah zuhud didefenisikan dalam kalimat yang berbeda-beda namun tetap dalam arti yang sama.
Menurut istilah zuhud memiliki beberapa pengertian :
a. Ibnu Taimiyah, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat”.
b. Imam Al Qusyairy, ”Zuhud adalah tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta”.
c. Imam Al Ghazali, ”Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai kemewahan dunia sesuai dengan kadar kemampuannya”.
d. Hasan Al-Bashri, ”Zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran”.
       Dari empat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan harta kekayaan dunia atau dunia. Harta kekayaan atau dunia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hakiki yakni kehidupan akhirat.
Secara harfiah, zuhud artinya tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Harun Nasution, zuhud artinya meninggalkan dunia dan materi. Secara syar’i zuhud adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluannya. Zuhud kepada dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta, serta tidak mau menikmati hal-hal yang bersifat duniawi, tapi lebih meyakini apa yang ada disisi Allah ketimbang apa yang ada ditangan kita.[5][1]
Hakikat zuhud ialah meninggalkan sesuatu dan menginginkan sesuatu yang lain. Orang yang zuhud lebih mengutamakan kebahagiaan hidup diakhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sementara. Tingkatan zuhud tertinggi adalah meninggalkan segala sesuatu selain Allah, bahkan dunia sekalipun.[6][2]
Zuhud adalah sikap hati, sebab zuhud berarti menghilangkan kecintaan terhadap dunia dari dalam hati, yang mana seorang zahid tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak pula menyibukkan hatinya dengan hal-hal duniawi yang membuatnya lupa dari tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt.
Seorang zahid tidak berarti melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mengosongkan tangannya dari harta, meninggalkan usaha yang halal dan menjadi beban bagi orang lain.  Dalam hadist Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau melihat hamba Allah yang telah diberi sifat diam dan zuhud, maka dekatilah ia. Sesungguhnya ia mengajarkan hikmah.” Dan sabdanya dilain hadits ialah, “Jika engkau ingin dicintai Allah, maka zuhudlah terhadap dunia.”[7][4]
Para ulama Tasawuf membagi zuhud ke dalam beberapa tingkatan, antara lain :
a.       Imam Ahmad bin Hanbal :
1) Zuhud Awam, dengan meninggalkan barang yang haram,
2) Zuhud Khawas, dengan meninggalkan barang yang halal,
3) Zuhud ’Arif, dengan meninggalkan apa saja yang menghalanginya dari Allah SWT.
b.      Imam Abu Nashr As Sarraj At Tusi :
1) Zuhud Mubtadi’ (tingkat pemula), yakni orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya-pun tidak ingin memilikinya.
2) Zuhud Mutahaqqiq (tingkat orang yang telah mengenal hakekat zuhud), yakni orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena tahu dunia tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3) Zuhud ‘Alim Muyaqqin (tingkat orang yang memandang bahwa dunia tidak memiliki nilai), yakni orang yang memandang bahwa dunia ini hanyalah sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah SWT.
c.       Imam Al Ghazali :
a.       Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik,
b.      Meninggalkan keduniaan karena menginginkan sesuatu yang bersifat keakhiratan,
c.       Meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT, karena rasa cintanya hanya tertuju kepada Allah SWT.
Kebalikan dari sifat zuhud adalah hubbuddunya (berlebih-lebihan mencintai dunia/harta benda).
1)      Dua ciri zuhud dalam Islam
a.       Zuhud tidak memusuhi dan tidak menolak kehidupan dunia
       Nabi Muhammad Saw. menjelaskan hal ini dengan sabda beliau :
        ”Zuhud di dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula membuang harta benda, tetapi zuhud di dunia ialah, bahwa engkau lebih percaya kepada apa yang ada disisi Allah daripada yang ada disisimu”. (H.R. Tirmidzi)
  Firman Allah Swt Q.S. Al A’raf [7] : 32  
Artinya :
     Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Al A’raf [7] : 32)
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Di zaman Rasulullah Saw. Pernah terjadi, ada beberapa orang sahabat yang berusaha untuk hidup secara zuhud, tetapi zuhud yang keliru, yaitu zuhud yang memusuhi kehidupan dunia. Diantara mereka ada yang mengharamkan buat dirinya makan daging, ada yang mengharamkan tidur di malam hari, ada yang bertekad tidak makan di siang hari. Bahkan seorang diantara mereka yang bernama Usman bin Mad’un memutuskan untuk meninggalkan kehidupan perkelaminan dengan istrinya. Lebih jauh lagi Usman bin Mad’un merencanakan untuk mengebiri alat kelaminnya, supaya tidak terganggu mengerjakan ibadah.
Setelah terjadi peristiwa tersebut, keluarlah Hadits Nabi Saw. yang artinya sebagai berikut :
”Betapakah halnya orang-orang yang mengatakan begini dan begitu (Maksudnya mengharamkan perempuan, mengharamkan makan daging, makan siang, tidur malam dan sebagainya). Sesungguhnya saya sendiri salat, tidur (malam), puasa, tetapi berbuka dan mengawini wanita. Barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, bukanlah ia termasuk dari golonganku. (Al Hadits)
b.  Zuhud bersifat sosial bukan bersifat individual
Zuhud bersifat sosial artinya       seseorang dibenar berbuat zuhud dari   berbagai kesenangan, kalau hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Ahli-ahli zuhud yang bersifat sosial banyak terdiri dari orang-orang salih dan ulama-ulama cerdik pandai. Mereka telah merasa cukup dengan kesenangan pribadinya yang lebih sedikit dari yang semestinya, demi untuk kesenangan dan kesejahteraan masyarakat. Zuhud yang demikian yang demikianlah yang dianut Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab tidak mau menyenangkan dirinya sendiri, karena menurut pendapatnya, jika ia berbuat demikian, berarti ia memberikan kesempatan kepada para pejabat pemerintah untuk berfoya-foya, sehingga rakyat menjadi korbannya. Dengan demikian kezuhudan Umar bin Khattab adalah untuk kebahagiaan masyarakat.
2.      Contoh perilaku zuhud
a.       Selalu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Swt., meskipun sedikit
b.      Senantiasa merasa cukup dengan harta yang dimilkinya, walaupun  hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer saja
c.       Menggunakan harta yang dimilkinya sebagai penunjang kesempurnaan beribadah kepada Allah
d.      Hidup dengan berpenampilan sederhana
e.       Lebih mengutamakan cintanya kepada Allah Swt. dibandingkan cintanya kepada dunia
3.      Manfaat Zuhud dalam Kehidupan
a.       Berkah dalam kehidupan yang sempurna
b.      Hidupnya tenteram dan bahagia
c.       Mendapatkan pertolongan dari Allah
d.      Memperoleh derajat kepemimpinan
e.       Dimasukkan ke surga
f.       Tidak mudah mengalami putus asa atas rizki yang diterimanya
g.      Memungkinkan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi
h.      Melatih ketenteraman batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini
i.        Bagian dari kesempurnaan iman




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Zuhud dan Tawakkal merupakan dua dari beberapa contoh perilaku terpuji yang disampaikan dalam makalah. Zuhud artinya tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, sehingga orang itu berusaha untuk memperoleh sesuatu yang bersifat ukhrawi. Sedangkan tawakkal dalam ajaran Islam bukan suatu pelarian bagi orang-orang yang gagal usahanya, tetapi tawakkal itu adalah tempat kembalinya segala usaha. Tawakkal bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha, tetapi menyerahkan diri pada Allah itu pertanda taat kepada-Nya setelah berusaha. Jika pasrah itu merupakan sifat malas dan putus asa, jelas dilarang oleh Allah Swt.















DAFTAR PUSTAKA
            Abdullah Yatimin, M, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007.
Isa, Abdul Qadir, Hakekat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2010.
            AF, Masan, Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII, Semarang: Karya Toha Putra, 2009.
Yani Ahmad, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, Jakarta: Al Qalam, 2007.
Penerjemah: Fudhailurrahman, Aida Humaira, Ringkasan Ihya’  ‘Ulumuddin/Imam Ghozali, Jakarta: Sahara Publishers, 2010.







[1][5] M. Yatimin Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. 2007, hlm. 53.
[2][6] Syaikh Abdul Qadir Isa. Hakekat Tasawuf. 2010. hlm. 261
[3][7] M. Yatimin Abdullah. Op, cit, hlm. 204.
[4][8] Masan, AF. Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII. 2009, hlm. 38
 [5][1]Ahmad Yani.. Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji. 2007, hlm. 158.
[6][2] Penerjemah: Fudhailurrahman, Aida Humaira.. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin/Imam Ghozali. 2010, hlm. 450.
[7][4]Penerjemah: Fudhailurrahman, Aida Humaira.Op, cit. hlm. 451.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Hesti...