TAWAKAL DAN ZUHUD
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawuf 2
Dosen Pengampu: Inna Faizatal Ngazizah, S.H.I., M.H.I.
Disusun
Oleh:
Aisyah (111-14-021)
Nur Cahyati (111-14-150)
Nizar Azim (111-14-200)
FAKULTAS TARBIYAH
DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini salah satu penyakit
ruhani yang sering menjangkit orang muslim ialah terlalu canta dunia dan takut
mati dan sombong dengan usahanya, maka dari itu untuk membersihkan penyakit
ruhani tersebut, ialah hanya dengan berperilaku zuhud dan tawakkal. Sifat zuhud
dan tawakkal merupakan kedua sifat yang terpuji, kedua sifat tersebut merupakan
sifat yang berpengaruh baik bagi kehidupan umat muslim saat ini, yaitu
terhindar dari cinta dunia secara berlebihan dan akan membentuk peribadi yang
selalu pasrah atas kehendak Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari sifat zuhud dan tawakkal perlu dimiliki oleh
setiap orang muslim, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat
muslim dianjurkan untuk senantiasa memiliki sifat tersebut. Sifat zuhud dan
tawakal juga menjadi benteng bagi kita dari penyakit yang sangat berbahaya
yaitu Wahn “cinta dunia dan takut mati”. Karena jikalau sudah terjangkit
akan membawa malapetaka bagi kita. Dalam makalah ini akan kami paparkan lebih
jelas lagi tentang sifat tawakal dan zuhud.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian zuhud
dan tawakkal?
2. Seperti apakah contoh
perilaku zuhud dan tawakkal?
3. Bagaimanakah
membiasakan perilaku zuhud dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian
zuhud dan tawakkal
2. Mengetahui contoh
perilaku zuhud dan tawakkal
3. Mengetahui membiasakan
perilaku zuhud dan tawakkal dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TAWAKAL
1.
PENGERTIAN TAWAKAL
Menurut bahasa tawakal berasal dari kata dasar wakkala
yang artinya mewakilkan atau menyerahkan. Yakni mewakilkan atau menyerahkan
suatu urusan kepada orang lain yang karena sesuatu hal dirinya tidak bisa
melakukannya. Sedangkan menurut istilah tawakal adalah berserah diri kepada
Allah dalam menghadapi suatu pekerjaan atau keadaan. Dalam penerapannya tawakal
merupakan tumpuan terakhir dalam suatu usaha dan perjuangan, artinya berserah
diri kepada Allah (tawakal) itu sesudah melakukan ikhtiar nyata semaksimal
mungkin sesuai kemampuan.
Tawakkal ialah menyerahkan, menyandarkan diri kepada Allah setelah
melakukan usaha atau ikhtiar dalam mengharapkan pertolongan-Nya. Tawakkal dalam
ajaran Islam bukan suatu pelarian bagi orang-orang yang gagal usahanya, tetapi
tawakkal itu adalah tempat kembalinya segala usaha. Tawakkal bukan berarti
menyerah atau pasrah tanpa usaha, tetapi menyerahkan diri pada Allah itu
pertanda taat kepada-Nya setelah berusaha. Jika pasrah itu merupakan sifat
malas dan putus asa, jelas dilarang oleh Allah.[1][5]
Ibnu Ujaibah mengatakan, “Tawakkal adalah percaya sepenuh hati terhadap
Allah, sampai dia tidak bergantung kepada sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain,
tawakkal adalah bergantung dan bertumpu kepada Allah dalam segala sesuatu,
berdasarkan pengetahuan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Selain itu,
tawakkal juga menuntut subjek untuk melebihkan semua yang ada dalam kekuasaan
Allah lebih percaya daripada yang ditangan subjek.”[2][6]
Tawakkal maksudnya ialah berserah diri kepada Allah dan menerima apa saja
yang telah ditentukannya. Tetapi dengan cara berusaha (ikhtiar) sekuat tenaga dan disertai dengan doa. Satu kesalahan yang
tidak dapat dibenarkan apabila ada yang berkata, bahwa tawakkal itu
meninggalkan usaha. Hal ini disebutkan dalam salah satu hadits, bahwasanya
suatu hari Rasulullah melihat orang baduwi melepas untanya tanpa diikat, ketika
ditanya kepadanya mengapa kamu berbuat demikian, si baduwi menjawab, “saya
tawakkal kepada Allah”. Lalu Rasulullah
bersabda, “bukan itu yang disebut
tawakkal, tetapi ikatlah dahulu. Kemudian baru tawakkal”.[3][7]
Biasanya kata tawakkal dihubungkan dengan istilah ikhtiar. Ikhtiar adalah
berusaha. Semua orang sudah ditentukan rezekinya, kita tinggal memperolehnya.
Tentu saja rezeki itu tidak bisa diperoleh hanya dengan berpangku tangan,
tetapi harus dengan ikhtiar atau usaha.[4][8]
Allah memberikan contoh
pada kita tentang makhluk Allah yang tidak memiliki akal sempurna tetapi mampu
bertahan hidup yaitu hewan, contohnya seekor burung yang pergi dari sarangnya
dalam keadaan lapar setelah itu mereka pulang dalam keadaan kenyang, maksudnya
ialah tawakkal kepada Allah bukannya berarti menghilangkan usaha, melainkan
tawakkal harus diimbangi dengan ikhtiar, karena tawakkal tanpa ikhtiar adalah
tidak sah, kita diajarkan untuk bertawakkal pada Allah.
Adapun Tingkatan
tawakkal berdasarkan tingkatannya dibagi menjadi beberapa tingkatan,
diantaranya :
§
Tawakkalul wakil, artinya seseorang
yang mempercayakan urusannya kepada sang wakil yaitu Allah Swt. tawakkal
seperti ini dilakukan oleh mukmin biasa.
§
Tawakkal Taslim, artinya seseorang
yang tidak membutuhkan sesuatu selain Allah Swt. Tingkatan tawakkal seperti ini
adalah tawakkalnya para Nabi/Rasul.
2. Contoh
Perilaku Tawakal
a. Selalu
mensyukuri nikmat Allah
b. Tidak pernah berkeluh kesah dan gelisah
c. Selalu
berusaha dan berikhtiar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
d. Menerima
segala ketentuan Allah dengan rida
e. Berusaha
memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain
f. Tidak
pernah merasa iri terhadap nikmat yang diperoleh orang lain
3. Fungsi
Tawakal dalam Kehidupan
a. Tidak
mudah putus asa jika gagal dalam usaha.
b. Lebih tenang dalam
menjalan kehidupan
c. Terhindar
dari rasa sedih yang berkepanjangan
d. Jika
berasil dalam usaha tidak bergembira yang berlebihan
e. Tidak menjadi orang yang takabur
B. ZUHUD
1. PENGERTIAN ZUHUD
Pengertian Zuhud Secara bahasa kata zuhud berasal dari bahasa Arab زَÙ‡َدَ- ÙŠَزْÙ‡َدُ-زُÙ‡ْدً berarti “meninggalkan”. Orang yang zuhud
disebut Zahid. Menurut istilah zuhud didefenisikan dalam kalimat yang
berbeda-beda namun tetap dalam arti yang sama.
Menurut
istilah zuhud memiliki beberapa pengertian :
a. Ibnu Taimiyah, ”Zuhud adalah meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat”.
b. Imam Al Qusyairy, ”Zuhud adalah tidak merasa
bangga terhadap kemewahan dunia yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika
kehilangan harta”.
c. Imam Al Ghazali, ”Zuhud adalah mengurangi
keinginan untuk menguasai kemewahan dunia sesuai dengan kadar kemampuannya”.
d. Hasan Al-Bashri, ”Zuhud itu bukanlah
mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia
adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang
ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama
saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang
mencelamu dalam kebenaran”.
Dari empat pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa zuhud adalah suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu
mementingkan harta kekayaan dunia atau dunia. Harta kekayaan atau dunia
hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hakiki yakni kehidupan akhirat.
Secara harfiah, zuhud
artinya tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Harun
Nasution, zuhud artinya meninggalkan dunia dan materi. Secara syar’i zuhud
adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluannya. Zuhud kepada
dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta, serta tidak
mau menikmati hal-hal yang bersifat duniawi, tapi lebih meyakini apa yang ada
disisi Allah ketimbang apa yang ada ditangan kita.[5][1]
Hakikat zuhud ialah
meninggalkan sesuatu dan menginginkan sesuatu yang lain. Orang yang zuhud lebih
mengutamakan kebahagiaan hidup diakhirat yang kekal dan abadi, daripada
mengejar kehidupan dunia yang fana dan sementara. Tingkatan zuhud tertinggi
adalah meninggalkan segala sesuatu selain Allah, bahkan dunia sekalipun.[6][2]
Zuhud adalah sikap
hati, sebab zuhud berarti menghilangkan kecintaan terhadap dunia dari dalam
hati, yang mana seorang zahid tidak memalingkan hatinya kepada dunia dan tidak
pula menyibukkan hatinya dengan hal-hal duniawi yang membuatnya lupa dari
tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Swt.
Seorang zahid tidak
berarti melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mengosongkan tangannya
dari harta, meninggalkan usaha yang halal dan menjadi beban bagi orang lain. Dalam hadist Rasulullah
Saw bersabda, “Jika engkau melihat hamba Allah yang telah diberi sifat diam dan
zuhud, maka dekatilah ia. Sesungguhnya ia mengajarkan hikmah.” Dan sabdanya
dilain hadits ialah, “Jika engkau ingin dicintai Allah, maka zuhudlah terhadap
dunia.”[7][4]
Para
ulama Tasawuf membagi zuhud ke dalam beberapa tingkatan, antara lain :
a.
Imam
Ahmad bin Hanbal :
1) Zuhud
Awam, dengan meninggalkan barang yang haram,
2) Zuhud
Khawas, dengan meninggalkan barang yang halal,
3)
Zuhud ’Arif, dengan meninggalkan apa saja yang
menghalanginya dari Allah SWT.
b.
Imam Abu Nashr As Sarraj At Tusi :
1) Zuhud Mubtadi’ (tingkat
pemula), yakni orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya-pun tidak ingin
memilikinya.
2) Zuhud Mutahaqqiq (tingkat
orang yang telah mengenal hakekat zuhud), yakni orang yang bersikap tidak mau
mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena tahu dunia tidak
mendatangkan keuntungan baginya.
3) Zuhud ‘Alim Muyaqqin
(tingkat orang yang memandang bahwa dunia tidak memiliki nilai), yakni orang
yang memandang bahwa dunia ini hanyalah sesuatu yang dapat melalaikan dari
mengingat Allah SWT.
c.
Imam Al Ghazali :
a. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu
yang lebih baik,
b. Meninggalkan keduniaan karena menginginkan
sesuatu yang bersifat keakhiratan,
c. Meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT,
karena rasa cintanya hanya tertuju kepada Allah SWT.
Kebalikan dari sifat zuhud adalah hubbuddunya (berlebih-lebihan
mencintai dunia/harta benda).
1) Dua ciri zuhud dalam
Islam
a. Zuhud
tidak memusuhi dan tidak menolak kehidupan dunia
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan hal ini dengan
sabda beliau :
”Zuhud
di dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan tidak pula membuang harta
benda, tetapi zuhud di dunia ialah, bahwa engkau lebih percaya kepada apa yang
ada disisi Allah daripada yang ada disisimu”. (H.R. Tirmidzi)
Firman Allah Swt Q.S. Al A’raf
[7] : 32
Artinya
:
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang mengetahui. (Q.S. Al A’raf [7] : 32)
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan
makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah
semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Di zaman Rasulullah Saw. Pernah terjadi, ada
beberapa orang sahabat yang berusaha untuk hidup secara zuhud, tetapi zuhud
yang keliru, yaitu zuhud yang memusuhi kehidupan dunia. Diantara mereka ada
yang mengharamkan buat dirinya makan daging, ada yang mengharamkan tidur di
malam hari, ada yang bertekad tidak makan di siang hari. Bahkan seorang diantara
mereka yang bernama Usman bin Mad’un memutuskan untuk meninggalkan kehidupan
perkelaminan dengan istrinya. Lebih jauh lagi Usman bin Mad’un merencanakan
untuk mengebiri alat kelaminnya, supaya tidak terganggu mengerjakan ibadah.
Setelah terjadi peristiwa tersebut, keluarlah
Hadits Nabi Saw. yang artinya sebagai berikut :
”Betapakah halnya orang-orang yang mengatakan
begini dan begitu (Maksudnya mengharamkan perempuan, mengharamkan makan daging,
makan siang, tidur malam dan sebagainya). Sesungguhnya saya sendiri salat,
tidur (malam), puasa, tetapi berbuka dan mengawini wanita. Barangsiapa tidak
suka kepada sunnahku, bukanlah ia termasuk dari golonganku. (Al Hadits)
b. Zuhud bersifat sosial
bukan bersifat individual
Zuhud
bersifat sosial artinya seseorang dibenar
berbuat zuhud dari berbagai kesenangan, kalau hal itu dapat mendatangkan
kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Ahli-ahli
zuhud yang bersifat sosial banyak terdiri dari orang-orang salih dan
ulama-ulama cerdik pandai. Mereka telah merasa cukup dengan kesenangan
pribadinya yang lebih sedikit dari yang semestinya, demi untuk kesenangan dan
kesejahteraan masyarakat. Zuhud yang demikian yang demikianlah yang dianut Umar
bin Khattab.
Umar
bin Khattab tidak mau menyenangkan dirinya sendiri, karena menurut pendapatnya,
jika ia berbuat demikian, berarti ia memberikan kesempatan kepada para pejabat
pemerintah untuk berfoya-foya, sehingga rakyat menjadi korbannya. Dengan
demikian kezuhudan Umar bin Khattab adalah untuk kebahagiaan masyarakat.
2. Contoh perilaku zuhud
a. Selalu
mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Swt., meskipun sedikit
b. Senantiasa
merasa cukup dengan harta yang dimilkinya, walaupun hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan primer saja
c. Menggunakan
harta yang dimilkinya sebagai penunjang kesempurnaan beribadah kepada Allah
d. Hidup
dengan berpenampilan sederhana
e. Lebih
mengutamakan cintanya kepada Allah Swt. dibandingkan cintanya kepada dunia
3. Manfaat
Zuhud dalam Kehidupan
a. Berkah
dalam kehidupan yang sempurna
b. Hidupnya
tenteram dan bahagia
c. Mendapatkan pertolongan
dari Allah
d. Memperoleh derajat
kepemimpinan
e. Dimasukkan ke surga
f. Tidak
mudah mengalami putus asa atas rizki yang diterimanya
g. Memungkinkan
dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi
h. Melatih
ketenteraman batin dalam menjalani kehidupan di dunia ini
i.
Bagian dari kesempurnaan iman
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zuhud dan Tawakkal merupakan dua dari beberapa contoh perilaku terpuji
yang disampaikan dalam makalah. Zuhud artinya tidak
ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian, sehingga orang itu berusaha
untuk memperoleh sesuatu yang bersifat ukhrawi. Sedangkan tawakkal dalam ajaran
Islam bukan suatu pelarian bagi orang-orang yang gagal usahanya, tetapi
tawakkal itu adalah tempat kembalinya segala usaha. Tawakkal bukan berarti
menyerah atau pasrah tanpa usaha, tetapi menyerahkan diri pada Allah itu
pertanda taat kepada-Nya setelah berusaha. Jika pasrah itu merupakan sifat
malas dan putus asa, jelas dilarang oleh Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yatimin, M, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta: Amzah, 2007.
Isa, Abdul Qadir, Hakekat
Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2010.
AF, Masan, Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII,
Semarang: Karya Toha Putra, 2009.
Yani Ahmad, Be
Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, Jakarta: Al Qalam, 2007.
Penerjemah:
Fudhailurrahman, Aida Humaira, Ringkasan
Ihya’ ‘Ulumuddin/Imam Ghozali,
Jakarta: Sahara Publishers, 2010.
[6][2] Penerjemah:
Fudhailurrahman, Aida Humaira.. Ringkasan
Ihya’ ‘Ulumuddin/Imam Ghozali. 2010, hlm. 450.
No comments:
Post a Comment