EPISTIMOLOGI
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Ilmu Pendidikan
Islam
Dosen Pengampu:
Sutrisno, M. Pd. I.
Oleh :
Rahmat 111-14-088
Agus Rohman 111-14-160
Muhammad Fatchul Ahcsan 111-14-314
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang peserta didik perlulah kita mempunya gagasan
tetanng pemikiran sesuatu. Salah satu kajian dalam filsafat yang dapat
diterapkan ilmu pendidikan salah satunya adalah epistimologi dimana
epistimologi itu adalah teori pengetahuan yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan ilmu pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Setiap ilmu seharusnya
diinspirasi dari haril kerja epistemologinya, oleh karena pendidikan Islam
haruslah dikembangan dengan epistimologinya agar menciptakan pendidikan Islam
yang bermutu dan berkualitas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
gambaran epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
penjelasan mengenahi dikostomi pendidikan Islam?
3.
Bagaimana
konsep epistimologi menurut berbagai sumber?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui gambaran epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
2.
Untuk
mengetahui penjelasan mengenahi dikostomi pendidikan Islam?
3.
Untuk
mengetahui konsep epistimologi menurut berbagai sumber?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epistimologi dalam Pendidikan islam
Sebagai sebuah
ilmu pendidikan islam juga memerlukan pemikiran yang filosofis guna memenuhi pengembangan
ilmu itu sendiri dan membentuk berbagai sudut pandang dalam pengajarannya.
Salah satu kajian dalam filsafat yang dapat diterapkan ilmu pendidikan salah
satunya adalah epistimologi dimana epistimologi itu adalah Epistemologi adalah teori pengetahuan yaitu membahas
tentang bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan dari objek yang dipikirkan.[1]
Jadi secara sederhana epistimologi
adalah bagaimanacara kita kita mengetahui sebuah ilmu.
Secara epistemologi, pengembangan pendidikan
Islam memang sangat diperlukan. Pengembangan ini baik secara tekstual maupun
pengembangan secara kontekstual. Karena secara global pendidikan Barat sudah
mempengaruhi pendidikan Islam dari berbagai lini, melalui berbagai sistem,
teori maupun teknologi pembelajaran. Realitas pendidikan yang ada, ternyata
produk-produk pendidikan kita menghasilkan orang-orang yang korup, suka
bertengkar dan mata duitan. Dengan melihat betapa besarnya peran pendidikan
Islam dalam membentuk kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, keberadan dan
pengembangan pendidikan islam sangat diharapkan. Perbaikan akan hal itu
pertama-tama dimulsi dari sistem filsafat pendidikan agama islam dimana kita
bisa menelaah dan menolok kembali pendidikan kita dari norma-norma yang ada.
Pada
hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
kontiniu/berkesinambungan, berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang
diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan
berlangsung sepanjang hayat.
Dasar
dan tujuan filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan
tujuan ajaran Islam atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Dari kedua sumber
ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah ke-Islaman
dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan.[2]
Dalam kehidupan sekarang ini dirasakan adanya
keprihatinan terhadap dunia pendidikan. Usaha untuk mencari paradigma baru
pendidikan Islam tidak pernah berhenti sesuai dengan tantangan zaman yang terus
berubah dan berkembang. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pemikiran
mencari paradigma baru, selain harus mampu membuat konsep yang mengandung
nilai-nilai dasar dan strategis yang progresif dan antisipatif, mendahuui
perkembangan masalah yang aan hadir di masa datang, juga harus mampu mempertahankan
nilai-nilai dasar yang benar dan diyakini untuk terus dipelihara dan
dikembangkan, apalagi dalam kehidupan modern dan dunia globalisasi sekarang
ini.
Sejalan
dengan persoalan di atas, sesungguhnya tantangan yang bersifat mendasar dalam
pendidikan Islam antara lain: pertama, mampukah sistem pendidikan Islam
menjadi centre of exelence bagi pengembangan iptek yang tidak bebas
nilai, kedua, mampukah sistem pendidikan Islam menjadi pusat pembaharuan
pemikiran Islam yang benar-benar mampu merespons tantangan zaman tanpa
mengabaikan aspek dogmatis yang wajib ditakuti, dan ketiga, mampukah
pendidikan Islam menumbuhkembangkan kepribadian yang benar-benar
bernalar-ilmiah yang tidak mengenal batas akhir.[3]
B.
Dikotomi Pendidikan Islam
Aktivitas kependidikan Islam di
Indonesia pada dasarnya sudah berlangsung dan berkembang sejak Indonesia
merdeka. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan bahwa sejarah pendidikan
Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabakan
karena pemeluk agama baru tersebut ingin mempelajari dan mengetahui secara
lebih dalam ajaran-ajaran Islam, ingin pandai mealaksanakan salat, berdoa, dan
membaca Alquran yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dengan
pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, di
mana pada mulanya umat Islam belajar di rumah-rumah, langgar/surau, dan masjid.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik
pendididkan Islam yang dilaksanakan di nusantara, baik yang berupa pendidikan pondok
pesantren, pendidikan madrasah, pendididkan umum yang bernafaskan Islam,
pelajaran pendidikan agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendididkan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja, maupun
pendidikan agama Islam yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu di
masyarakat, serta di tempat ibadah dan media massa.
Fenomena saat ini menunjukkan adanya
pemikiran tentang pengembangan pendididkan Islam di Indonesia dalam berbagai
bentuk jenisnya. Dalam konteks wacana di atas, penulis melihat meskipun
pendidikan Islam di mulai sejak pertama Islam itu sendiri menancapkan dirinya
di kepulauan Nusantara, namun realitas saat ini sistem pendidikan Islam masih
termajinalisasi oleh sistem pendidikan umum. Hal ini di sebabkan pengaruh
dikotomomi ilmu pengetahuan. yang selalu di perdebatkan di dunia Islam, mulai
sejak zaman kemunduran Islam sampai sekarang. Tulisan ini mencoba memaparkan
kapan terjadinya perbedaan (dikotomi) ilmu pengetahuan, dampak dikotomi pendidikan
barat terhadap pendidikan Islam di Indonesia, serta apa upaya yang dilakukan
untuk mengantisipasi dikotomi ilmu pendidikan tersebut. [4]
Sejarah
Timbulnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan
sebuah paradigma yang selalu marak diperbincangakan dan tidak berkesudahan.
Munculnya dikotomi keilmuan ini akan berimplikasi terhadap model pemikiran. Di
satu pihak ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang
kering dari nilai-nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang hanya
memperdalam masalah agama yang terpisah dari perkembanagn ilmu pengetahuan.
Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari
suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain di mana yang satu sama sekali
tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.
Definisi di atas dapat diartikan
bahwa makna dari dikotomi adalah pemisahan suatu ilmu pengetahuan menjadi dua
bagian yang satu sama lainya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan
tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut.
Dilihat dari kaca mata Islam, jelas
sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu sendiri,
karena dalam Islan ilmu dipandang secara utuh dan universal, tidak ada istilah
pemisahan atau dikotomi. Alquran juga menekankan agar umat Islam mencari ilmu
pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmu
ditinggikan derajatnya di sisi Allah, bahkan tidak sama orang yang mengetahui
dan dengan orang yang tidak mengetahui. Sebagai mana firman Allah swt.:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu Dan orang – orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. al-Mujadilah [58]: 11).
قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ
يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ ٩
Terjemahnya:
Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. (Qs.
az-Zumar [39] ayat: 9.)
Dari ayat di atas dapat dipahami
bahwa dalam Islam tidak pernah menganggap adanya dikotomi ilmu pengetahuan dan
agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu totalitas yang integral yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sesungguhnya Allahlah yang
menciptakan akal bagi manusia untuk mengkaji dan menganalisis apa yang ada
dalam alam ini sebagai pelajaran dan bimbingan bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya
di dunia. Uraian di atas menggambarkan kepada kita bahwa dalam ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan umum merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahakan
antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan aktivitas kehidupan
sehari-hari.
C.
Epistimologi Pendidikan Islam
Pesantren dalam Era Modern
Sebagaimana yang dapat dilihat dari
fenomena sekarang, apa yang akan terjadi di masa mendatang, masih akan
didominasi oleh kecenderungan globalisasi sebagai akibat dari era reformasi,
yang memang akan melahirkan perubahan kebudayaan yang mendalam, yang secara
umum disebabkan oleh loncatan perkembangan Iptek, proses ledakan informasi, dan
proses perubahan gaya hidup yang mencerminkan imperalisme kultural.
Keseluruhannya memperkuat tumbuhnya
masyarakat modern sebagai gambaran dari keberhasilan iptek, yang akan
menghantarkan masyarakat pada suasana kehidupan yang betul-betul baru. Dalam
kondisi yang demikian, semua lembaga atau institiusi merasa
tertantang untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan baru tersebut, termasuk
salah satunya adalah lembaga pendidikan pondok pesantren.
Seiring laju
perkembangan masyarakat, pesantren juga mengalami dinamika dan selalu berbenah
diri agar tetap sesuai dengan tuntutan perubahan. Pesantren sedikit demi
sedikit secara berangsur-angsur terus mengadakan pembaruan-pembaruan pada
sistem pendidikannya. Setidak-tidaknya ada tiga hal utama yang telah dilakukan
pesantren dalam meraih konstruksi sistem pendidikan. Pertama, pembaruan dari segi metode belajar mengajar
dalam pesantren. Pada mulanya pesantren hanya menerapkan sistem menghafal, dan
menempatkan kyai sebagai satu-satunya sumber dalam proses belajar mengajar.
Tapi sekarang, sistem modern telah juga dipraktikkan dalam berbagai pesantren.
Kedua, pembaruan dari segi muatan isi kurikulumnya. Pesantren
tidak lagi mengajarkan sebatas pengetahuan keagamaan, melainkan telah juga
diajarkan pendidikan sosial dan teknologi. Ketiga, pembaruan dari segi
mengoptimalkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat (center of
society development). Pengembangan yang dimaksud di sini adalah penyesuaiannya
dengan dunia modern dengan tetap memelihara identitas keIslaman, yaitu
membekali para santri dengan berbagai disiplin keilmuan dan keterampilan dalam
memasuki dunia modern dengan tetap berpegang pada tuntutan-tuntutan spiritual,
syariat dan akhlak Islam.
Hingga saat
sekarang, lembaga pendidikan Pesantren masih tetap diminati oleh sebagian umat
Islam di Indonesia, bahkan semakin popular setelah memberikan perhatiab khusus
dalam pengembangan dan pembinaannya. Pengembangan pesantren yang selama ini
nyaris terbatas di pedesaan, sekarang tidak sedikit pesantren yang telahg tumbuh dan
berkembang di kota-kota besar. Pada umunya pesantren pada saat sekarang telah
menyesuaikan dengan tuntutan pendidikan modern, yaitu dengan menyeimbangkan
antara pengetahuan umum dan agama, dan hal ini memungkinkan bagi mereka untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum.[5]
Oleh sebab
itu, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dan dipikirkan oleh pengelola
pesantren, juga masyarakat pada umumnya yang memiliki kepedulian terehadap
keberlangsungan nasib pesantren. Pertama, pesantren harus bisa
memberikan pelayanan jasa pendidikan yang lebih berkualitas sesuai dengan
perkembangan zamandan permintaan masyarakat. Kedua, pesantren harus bisa
meningkatkan kesejahteraan para pengasuh, pengurus, tenega pengajar dan
administrasinya. Ketiga, pesantren harus bisa senantiasa merenovasi
dirinya, dengan sarana dan prasarana yang lebih memadai dan canggih, dan
mengembangkan sistem kelembagaan sesuai dengan tuntutan manajemen modern. Keempat,
dewasa ini pesantren tidak cukup hanya berpikir sekedar survive.[6]
Oleh karena
itu, untuk bisa tumbuh dan berkembang, pesantren perlu memikirkan surplus dari
anggaran penerimaan dan pengeluaran, karena pada umumnya pesantren harus
membiayai anggarannya sendiri, maka suka atau tidak suka
Pesantren harus dikelola dengan manajemen yang mendasarkan diri pada
prinsip-prinsip badan usaha, sekalipun pesantren itu sendiri harus
dipertahankan sebagai lembaga nir-laba. Artinya sudah menjadi tuntutan bagi
Pesantren pada saat sekarang untuk memikirkan lembaganya sebagai badan ekonomi
dan industri pada tingkat terttentu, dengan tidak mengabaikan tujuan utamanya
sebagai lembaga pendidikan keagamaan. [7]
Sesungguhnya
di dalam pendidikan Islam terdapat beberapa konsep utama yang merupakan
unsur-unsur esensial dalam sistem pendidikan Islam, yaitu konsep agama (din),
konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilm dan ma’rifah),
konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan (‘adl), konsep amal (‘amal
sebagai adab), dan konsep universitas (kuliah jama’ah) (Al-Nuqaib
al-Attas, 1994: 8). Dalam hubungan ini dipertegas bahwa tugas kita yang paling
penting merumuskan dan menyusun (formulasi dan integrasi) unsur-unsur Islam
yang baku dan konsep-konsep kunci yang melahirkan dan konsep pokok yang
dimasukkan dalam konsep pendidikan Islam. Semua itu harus mengacu pada konsep
Tuhan, esensi dan sifat-sifat-Nya (tauhid); wahyu (Kitab suci al-Qur’an); hukum
yang diwahyukan (syari’at); Nabi dan kehidupannya (Sunnah); dan sejarah serta
pesan-pesan Nabi sebelum Muhammad saw. Pengetahuan harus mengacu pada
prinsip-prinsip dan praktik Islam, ilmu-ilmu keagamaan termasuk tasawuf dan
filsafat Islam, doktrin-doktrin kosmologi mengenai heararki ada (being)
dan pengetahuan tentang etika, prinsip-prinsip moral serta adab. Pengetahuan
dalam Islam harus memasukkan sejarah, kebudayaan, peradaban Islam, pemikiran
Islam dan perkembangan ilmu-ilmu dalam Islam.[8]
Epistemologi
Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Ghazali
Ilmu
ilmu adalah salinan (yang
terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu”. Dalam
kitabnya yang lain, ia mengatakan bahwa ilmu adaslah rumusan tentang sampainya
hakikat ke dalam hati. Maka,
‘alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang qalbi yang padanya
salinan hakikat segala sesuatu bertempat. Sedangkan ma’lum (yang
diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu.
Metode
Pencapaian Ilmu
Menurut al-Ghazali, ilmu yang muncul dalam qalbu manusia
diperoleh dengan dua cara, yaitu: daruri (apriori) dan bukan daruri.
Jenis yang pertama ini merupakan copy paste dari potensi manusia, namun
baru muncul ketika akal telah sempurna. Kedua jenis tadi muncul dengan dua
cara, yaitu hujumi (tanpa diusahakan/spontanitas) dan iktisab (usaha
langsung)
Epistemologi Pendidikan Islam dalam
Perspektif Fazlur Rahman
Pengetahuan
Dalam buku yang berjudul Islamic Methodologi in
History, Fazlur Rahman (dalam syafuddin: 2013) menjelaskan konsep
pengetahuan kaum muslimin (the muslim’s concept of knowledge). Di
dalamnya, Fazlur Rahman menjelaskan konsep pengetahuan kaum muslimin dan
perkembangannya. Menurutnya al-Qur’an berkali-kali menggunakan istilah ”ilm”
yang secara umum bermakna pengetahuan.
Klasifikasi Pengetahuan
Kata ”klasifikasi” berasal dari bahasa Inggris classification
yang berarti penggolongan (menurut jenis), klasifikasi, atau pembagian. Dengan
mendasarkan pada al-Qur’an, Fazlur Rahman cenderung mengklasifikasikan
pengetahuan manusia kepada tiga jenis, yaitu pengetahuan tentang alam,
pengetahuan tentang sejarah, dan pengetahuan tentang manusia. Pertama,
pengetahuan tentang alam yang dimaksud adalah semua yang telah diciptakan untuk
manusia, seperti pengetahuan fisik. Kedua, jenis yang krusial, yaitu
pengetahuan tentang sejarah (dan geografi). Al-Qur’an mendorong manusia untuk
mengadakan perjalanan di muka bumi dan menelaah apa yang telah terjadi pada
peradaban masa lalu dan mengapa mereka bangkit kemudian jatuh. Ketiga,
adalah pengetahuan tentang manusia sendiri.
Sumber dan Proses Memperoleh
Pengetahuan
Semua pengetahuan didasarkan pada tiga sumber, yaitu pertama
adalah physical universe. Fenomena-fenomena alam harus dipelajari dan
penginvestigasian ini secara alami tidak pernah berhenti. Kedua,
dijelaskan sebagai manusia (constitution of the human mind) harus
diteliti dengan intensitas yang memadai Ketiga, Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa al-Qur’an memberikan penekanan yang sama pada historical
study of societies
Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran
yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang sesuai dengan sesuatu yang
sebenarnya. Dan yang dimaksud sesuatu di sini adalah pengetahuan. Jadi
maksudnya adalah pengetahuan yang sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya. Dalam
diskursus epistemologi pemikiran Islam, pembahasan kebenaran biasanya terkait
dengan kebenaran wahyu dan kebenaran akal[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam dunia pendidikan filsafat
memegang peranan yang penting karena filsafat mendasari pendidikan itu. Dalam
menghadapi filsafa sangat diperlukan terutama kajian epistimologi. Epistimologi
adalah cara bagaimana kita bisa memperoleh sebuah kebenaran. Dalam hal
pendidikan epistimologi berarti dimana kita bisa mencari barbagai cara untuk
meningkatkan pendidikan islam dalam menghadapi tantangan globailisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Nurul. 2013.
Pendidikan Islam dan Transformasi Kesadaran.
Edukasi. Vol, 01, No, 01.
Naim, Ngainun.
2012. Mengembalikan misi pendidikan. Iip. Vol, XVII. No, 3.
Suwarji. 2013.
Aktualisasi Pendidikan Islam (Suatu Upaya Membangun Paradigma Integral). Edukasi. Vol
01, No. 01.
Syaifuddin,
Roziq. 2013. epistimologi pendidikan ilam dalam kacamata Al Ghazali dan Fazlur
Rahman. Epistemé. Vol. 8, No. 2.
Taufik. 2010.
peta pemikiran pendidikan islam di Indonesia telaah dikotomi pendidikan.
Hunafa. Vol. 7, No. 2.
Zainuddin, Moh.
Riza.
2013.
Pembelajaran Organisasi pada Pondok Pesantren dalam Memasuki Era.
Edukasi. Vol. 01, No. 01.
No comments:
Post a Comment