MAKALAH
ETIKA DAN
BUDAYA JAWA
KEHARMONISAN
Dosen Pengampu
: Drs. Wido Murwadi, M.Pd
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Dan Budaya Jawa
Disusun oleh :
Aida Dwi Rahmawati (111-13-042)
Anisa Amalia Ulfa (111-13-068)
Wahyu Ratna Ningtyas (111-13-269)
Aprilia Erawati (111-14-008)
FAKULTAS TARBIYAH
DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
Daftar Isi
Halaman
Judul...........................................................................................................i
Lembar Daftar
Isi
....................................................................................................ii
Kata Pengantar........................................................................................................iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
...............................................................................1
B.
Rumusan Masalah ..........................................................................2
C.
Tujuan..............................................................................................2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keharmonisan...............................................................3
B.
Berperan dalam sebuah keharmonisan............................................4
C.
Menemukan sebuah keharmonisan.................................................5
D.
Menempatkan
keharmonisan..........................................................6
E.
Aplikasi keharmonisan pendidikan muslim keluarga, sekolah, dan
masyarakat ......................................................................................6
F.
Menciptakan rasa keharmonisan yang
baik....................................7
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan.....................................................................................8
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................9
KATA
PENGANTAR
Dengan Rahmat, Taufiq dan Hidayah Allah SWT., pemakalah dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul: Keharmonisan.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah dan zaman
tidak berakhlak kepada zaman yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia
seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Dalam makalah ini kami mencoba untuk memaparkan mengenai pengertian keharmonisan.
Selain itu, kami juga akan memaparkan tentang berperan dalam sebuah keharmonisan, menemukan
sebuah keharmonisan, menempatkan keharmonisan, dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan. Dan pada bagian akhirnya pemakalah
akan mencoba menyimpulkannya.
Akhir kata, pemakalah menyadari penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan.
Terima kasih.
Salatiga, 8 Oktober
2015
PEMAKALAH
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengapa
keluargamu tidak harmonis? Demikian pertanyaan seorang teman pada kawannya,
terkai dengan keluarga kawannya yang terlihat sering bertengkar dan tidak
mesra. Kedekatan dan kemersaan yang ditunjukkan oleh sebuah keluarga
menunjukkan nilai harmonis tersebut. Alat musik yang menunjukkan suara merdu
dan nyaman jika didengarkan, musik tersebut suaranya disebut harmoni.
Keserasian, keselarasan, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan menunjukkan
harmoni ini.[1]
Setiap individu
ingin hidup harmonis dalam artian harmonis-kreatif yang progresif dan dinamis.
Progrevitas dan dinamika hidup merupakan tuntutan kehidupan itu sendiri seperti
halnya harmoni. Kehidupan tanpa keharmonisan kurang memiliki makna, tetapi
keharmonisan tanpa dinamika akan menghilangkan nilai kehidupan.
Masyarakat Jawa
adalah masyarakat yang menjunjung tinggi unggah-ungguh atau tatakrama.
Tatakrama yang detail dalam segala perilaku. Ada sebutan mikul, dhuwur,
mendem, jero (mengangkat tinggi dan mengubur dalam-dalam) digunakan untuk
memberikan pesan agar orang berkenan menghormati orang tua dan pimpinan, ojo
ngono ora ilok (jangan begitu tidak baik), tidak baik dinyatakan dengan ora
ilok, menunjukkan bahwa ada pesan sakral, dan masih ada pesan sesanti yang
dipakai oleh orang Jawa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan keharmonisan?
2.
Siapa saja yang berperan dalam sebuah keharmonisan?
3.
Dimana saja kita bisa menemukan sebuah keharmonisan?
4.
Kapan saja kita bisa menempatkan sebuah keharmonisan?
5.
Mengapa keharmonisan perlu untuk diaplikasikan dalam kehidupan?
6.
Bagaimana cara menciptakan keharmonisan yang baik?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari keharmonisan.
2.
Untuk mengetahui siapa saja yang berperan dalam sebuah
keharmonisan.
3.
Untuk mengetahui dimana kita bisa menemukan sebuah keharmonisan.
4.
Untuk mengetahui kapan menempatkan sebuah keharmonisan.
5.
Untuk mengetahui arti keharmonisan dalam aplikasi kehidupan.
6.
Untuk mengetahui cara menciptakan keharmonisan yang baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keharmonisan
Pemaknaan kata
seperti ini seperti ini sesuai dengan kata harmoni ini yang berasal dari bahasa
Inggris harmonius yang berarti rukun, seiaskata; harmonius
relationship yang berarti hubungan yang rukun; harmonize yang
berarti perpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmony berarti keselarasan,
keserasian, kecocokan, kesesuaian,
kerukunan (to be in harmony with the universe , berkeselarasan dengan
alam semesta)[2].
Harmoni dalam
konteks hakikat merujuk pada adanya keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan
kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan apek fisik dan psikis
sekaligus. Boleh jadi seorang terlihat atau memperlihatkan adanya harmonitas
lahir terhadap seseorang, tetapi dalam batinnya ada pertentangan dan pertikaian
diantara mereka. Hal ini bukan hakikat harmoni. Harmoni sebenarnya merujuk pada
keselarasan lahir-batin yang ada pada diri individu dan sosial.
Tentang
harmoni, orang sering teringat akan musik Gending atau musik jawa juga sispapun adalah mengisyaratkan adanya nilai
harmoni di dalamnya. Keserasian antara gambang, suling, gendang, gong, dan
lainnya yang terpadu dalam satu alunan lagu dan syair yang enak dan nyaman
didengar, juga menunjukkan sisi harmoni didalamnya, atau paling tidak insan
seni yang memainkan tidak sedang harmonis dalam hatinya. Musik tersebut bisa
dicipta sebagai simbol prote pada lingkungannya. Musik orang yang sedang marah.
Kemarahan seseorang menunjukan dalam dirinya sedang diharmoni.
Kehidupan ideal
bagi siapapun adalah kemampuan menciptakan sebuah budaya dan tradisi hidup yang
harmonis secara fisik-psikis dalam bermasyarakat dan berbangsa dengan dinamika
hidup yang tinggi untuk menggapai keluhuran peradaban dan kemanusiaan.
Cita-cita demikian menjadi dambaan setiap individu dan komunitas sosial, di
antaranya adalah masyarakat Jawa yang memiliki filosofi rukun agawe santoso,
kerukunan dan keharmonisan akan membuat kehidupan dalam kesantosaan atau
kebahagiaan, meskipun antara idealitas-normatif dengan realitas-historis belum
tentu sejalan di lingkungan masyarakat Jawa.
B.
Berperan dalam sebuah keharmonisan
Harmonitas
sosial merupakan harapan semua orang termasuk orang Jsawa. Dalam pepatah Jawa
sering disebut “Rukun agawe santosa”, bahwa kerukunan antar sesama akan
membawa kesejahteraan hidup. Pertengkaran hanya akan mendatangkan kesengsaraan
hidup manusia. Sejarah telah berbicara banyak tentang kehancuran hidup individu
sampai dengan kehancuran negara adidaya karena ada disharmoni dan pertikaian
internal. Kekalahan seringkali disebabkan oleh diri sendiri.
Harmonitas
sosial dicapai jika tidak terjadi konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan
adanya perbedaan dan keragaman dimasyarakat itu lalu disebut sebagai konflik,
karena keragaman dan keberadaan
merupakan bagian dari syarat terwujudnya keharmonisan sosial. Tanpa
pluralitas atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun,
selaras, serasi, bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut
akan membentuk keharmonisan jika dikelola dengan baik dan tidak menjadikan di
antaranya bertabrakan atau berbenturan dengan yang lain.
Pemaknaan
terhadap harmonitas sosial bisa dipahami dari kata harmonis yang searti dengan
kata serasi, selaras, rukun, dan semacamnya. Menjaga keharmonisan sosial
berarti menjaga agar kehidupan sosial selalu ada dalam keserasian, keselarasan,
dan kerukunan. Berlawanan dengan hal tersebut adalah disharmoni yang merupakan
kondisi dimana keserasian, keselarasa, dan kerukunan, tidak terwujud dalam
lingkungan sosial, yang ada adalah pertikaian, perseteruan, kekerasan,dan
penghancuran.
Penerapan
istilah harmoni dalam konteks sosial harus jelas dan profesional. Harmoni yang
sebenarnya ialah, jika semua interaksi sosial berjalan secara wajar dan tanpa
adanya tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya
kebebasan. Jadi, harmonitas sosial mensyaratkan adanya jaminan kebebasan bagi
setiap anggota sosial, untuk menyalurkan aspirasinya secara terbuka, dan tidak
dengan cara pemaksaan maupun dengan cara menyumbat suara rakyat melalui
katup-katup pengaman. Juga bukan dengan suara sepihak yang berupa
ancaman-ancaman. Sehingga masyarakat itu sungguh-sungguh berkembang dan menjadi
harmonis karena ada keadilan, kemerdekaan, pemerataan, dan hak-hak asasi
manusia yang dihormati dengan baik oleh semua komponen masyarakat.[3]
C.
Menemukan sebuah Keharmonisan
Keharmonisan
sosial menjadi harapan setiap individu semua agama mengajarkan agar pemeluknya
hidup damai dan harmonis, baik secara internal maupun eksternal. Dalam Islam,
kerukunan dan keharmonisan sosial ditemukan di antaranya dalam konsep ukhuwwah,
persaudaraan. Jika diklasifikasikan secara Islam seperti :
1.
Ukhuwwah islamiyah
yaitu kerukunan dan hidup harmonis dengan sesma Muslim
2.
Ukhuwwah wathaniyah
yaitu kerukunan dan keharmonisan hidup dengan sesama bangsa berujud sikap
nasionalisme, yang menjaga kerukunan disamping kebinekaan warga bangsa.
3.
Ukhuwwah basyariyah
kerukunan sesama manusia dimanapun individu berada, berujud sikap
internasionalisme yang berdimensi global, menghilangkan sekat-sekat fanatisme,
dan mengembangkan pluralisme didunia internasional untuk kemanusiaan dan
peradaban.
4.
Ukhuwah alamiyah yaitu
persaudaraan dan keharmonisan hidup dengan sesama penduduk alam semesta,
makhluk Tuhan, yaitu dengan menjalin kerja sama dan cinta dengan seama penduduk
alam raya, dengan hewan, tumbuhan, tanah, air, udara,, dan semacamnya.
D.
Menempatkan keharmonisan
Paseduluran atau persaudaraan menjadi tema penting dalam budaya Jawa. Kesetiaan
dalam persahabatan menjadi tolok ukur dalam martabat seseorang. Persaudaraan
dan persahabatan bagi orang Jawa dipegang kuat-kuat. Orang yang telah
memutuskan untuk pindah ke suatu lingkungan yang baru dan berencana untuk
menetap untuk seterusnya, tetap ia becita-cita untuk mampu berkomunikasi dengan
desa asalnya, tempat dimana darah kelahirannya tumpah dan ari-ari (tali
pusarnya) ditanam.
E.
Mengaplikasikan keharmonisan pendidikan muslim dalam keluarga,
sekolah, dan masyakarat.
1.
Keluarga
Keluarga yang secara edukatif disebut sebagai keluarga yang
harmonis memiliki indikator:
a)
Tradisi komunikasi vertikal (beribadah kepada Tuhan)
b)
Tradisi komunikasi horisontal yang sehat dengan sesama anggota
keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial.
c)
Tradisi silaturahmi kepada orang tua, sahabat, dan guru. Dan
sebagainya.
2.
Sekolah
Sekolah yang harmonis adalah sekolah yang kondusif untuk proses
pendidikan anak. Sekolah tersebut memiliki indikator:
a)
Guru yang memiliki kompetensi akademik, pedagogik, berkepribadian,
dan kompetensi sosial yang utama.
b)
Perlengkapan penunjang, seperti gedung sekolah, perpustakaan,
kantor, ruang ibadah, dan sebagainya.
3.
Masyarakat
Masyarakat yang harmonis dan ideal secara edukatif memiliki
indikator didalamnya, antara lain:
a)
Tersedianya fasilitas penunjang, seperti kantor, gedung pertemuan,
gedung kesenian, dan lain-lain.
b)
Pemimpin yang bijak, demokratis, dan berwibawa.
c)
Tradisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terjaga dengan baik.
F.
Menciptakan rasa keharmonisan yang baik
Sebab,
untuk menciptakan keharmonisan, masyarakat Jawa mewajibkan diri untuk menjalin
hubungan yang baik dengan tetangga dekat dengan memperhatikan berbagai
kebutuhan mereka, dan sebanyak mungkin membagi segala sesuatunya dengan mereka,
sering dinyatakan sebagai berikut, “Wonten sekedhik dipundum sekedhik,
wonten kathah enggeh dipundum kathah, bila ada (rezeki) sedikit, akan
dibagi sedikit, tetapi bila ada banyak, juga akan dibagi banyak pula.”[4]
Mencapai
tujuan kebahagiaan dan keharmonisan sosial, orang Jawa lebih suka memecahkan
problem kehidupan melalui sikap mawas diri, introspeksi diri dan tepo
seliro, sadar posisi terlebih dahulu, sebelum mengambil tindakan yang
menimbulkan konsekuensi terhadap orang lain.[5]
Untuk
mewujudkan harmonitas sosial, kepentingan pribadi atau satu kelompok dikurangi
sedikit untuk memberikan ruang bagi kepentingan orang dan kelompok lain.
Kesadaran untuk memberikan ruang bagi yang lain ini akan menciptakan rasa
solidaritas untuk harmonitas. Perasaan demikian itu harus timbul dari
masyarakat itu sendiri secara sadar tanpa dipaksakan. Tidak ada lagi intimidasi
dengan menuduh orang yang berbeda pendapat dan aspirasi sebagai subversif,
menganggu stabilitas nasional, menganggu pembangunan, dan sebagainya. Kalau itu
dipaksakan, akibatnya yang terjadi sebenarnya adalah harmonitas semu.[6]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Harmoni dalam
konteks hakikat merujuk pada adanya keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan
kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan apek fisik dan psikis
sekaligus.
Harmonitas
sosial dicapai jika tidak terjadi konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan
adanya perbedaan dan keragaman dimasyarakat itu lalu disebut sebagai konflik,
karena keragaman dan keberadaan
merupakan bagian dari syarat terwujudnya keharmonisan sosial. Tanpa
pluralitas atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun,
selaras, serasi, bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut
akan membentuk keharmonisan jika dikelola dengan baik dan tidak menjadikan di
antaranya bertabrakan atau berbenturan dengan yang lain.
Keharmonisan
sosial menjadi harapan setiap individu semua agama mengajarkan agar pemeluknya
hidup damai dan harmonis, baik secara internal maupun eksternal.
Paseduluran atau persaudaraan menjadi tema penting dalam budaya Jawa. Kesetiaan
dalam persahabatan menjadi tolok ukur dalam martabat seseorang.
Untuk
menciptakan keharmonisan, masyarakat Jawa mewajibkan diri untuk menjalin
hubungan yang baik dengan tetangga dekat dengan memperhatikan berbagai
kebutuhan mereka, dan sebanyak mungkin membagi segala sesuatunya dengan mereka,
sering dinyatakan sebagai berikut, “Wonten sekedhik dipundum sekedhik,
wonten kathah enggeh dipundum kathah, bila ada (rezeki) sedikit, akan
dibagi sedikit, tetapi bila ada banyak, juga akan dibagi banyak pula.”
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1994.
Lubis,
Muchtar, “Harmonitas Sosial yang Bagaimana?” dalam Majalah Pesantren
No.4/Vol. V/ 1988.
Masruri,
Bukhori, “Konflik Boleh, tapi yang Sopan” dalam Majalah Pesantren No.
4/Vol. V/1998.
Roqib,
Moh, Harmoni dalam Budaya Jawa. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
2007.
Tim
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam Kamus Beasar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.
[1] Menurut Tim
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam Kamus Beasar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h 299. Harmoni diartikan dengan keselarasan,
sedang harmonis berarti selaras, serasi.
[2] John M. Echols
dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:Gramedia, 1996),
hlm.290.
[3] Muchtar Lubis,
“Harmonitas Sosial yang Bagaimana?” dalam Majalah Pesantren No.4/Vol. V/
1988, h 35.
[4]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, h 441.
[5] Roqib, Harmoni
dalam Budaya Jawa, Purwokerto:STAIN Purwokerto Press, 2007, h 62.
[6] Bukhori
Masruri, “Konflik Boleh, tapi yang Sopan” dalam Majalah Pesantren No.
4/Vol. V/1998, h 43.
No comments:
Post a Comment