Monday, August 15, 2016

MAKALAH TATACARA MELAKSANAKAN PUASA



TATACARA MELAKSANAKAN PUASA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh 1
Dosen Pengampu: Imam Anas Hadi, M.Pd.I


Disusun Oleh:
Danang Adi Utomo    (111-14-217)
Yunita Fatmawati       (111-14-219)
Aufiy Millatana           (111-14-239)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015

Description: Description: Description: BISMIL~2KATA PENGANTAR

وبركاته اللّه ورحمة عليكم السلام
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayahnya kepada kita semua, khususnya bagi kelompok kami yang telah menyelesaikan makalah ini dengan judul Cara Melaksanakan Puasa. Serta kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Yang terhormat kepada Bpk Imam Anas Hadi, M.Pd.I sebagai dosen pengampu mata kuliah fiqh 1.
2.      Teman-teman yang telah membantu memberikan masukan maupun pendapat kepada kami, agar menjadikan makalah yang kami buat menjadi baik.
Kami  menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan pada makalah  ini sebagai akibat dari keterbatasan dari pengetahuan kami. Sehubungan dengan hal tersebut, kami  akan selalu membuka diri untuk menerima segala kritik dan saran yang dapat memperbaiki makalah ini dari berbagai pihak. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

وبركاته اللّه ورحمة عليكم والسلام


Salatiga; 30 Agustus 2015
                 Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqh merupakan mata kuliah yang mendasari hukum-hukum islam. Sebagai calon pendidik kita harus mengetahui hukum-hukum dasar islam salah satunya dengan mempelajari mata kuliah ini. Dengan adanya mata kuliah fiqh 1 kita dapat lebih mudah dalam proses mengajar nanti.
Pokok bahasan ilmu fiqh sangat banyak sekali salah satunya cara melaksanakan puasa. Ketika akan puasa kita harus mengetahui tatacara dalam melaksanakan puasa. Baik dari syarat baik syarat sah puasa maupun syarat wajib puasa, rukun puasa, yang membatalkan puasa dan sebagainya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita akan lebih mengetahui secara keseluruhan cara pelaksanakan puasa.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian puasa?
b.      Bagaimana syarat dan rukun puasa?
c.       Bagaimana hal yang disunahkan dan dimakruhkan dalam puasa?
d.      Bagaimana hal yang membatalkan puasa?
e.       Bagaimana uzur-uzur yang diperbolehkan dalam puasa?
f.       Bagaimana etika dalam berpuasa?
g.      Bagaimana waktu dan faedah puasa?
C.     Tujuan
a.       Mengetahui pengertian puasa.
b.      Mengetahui syarat dan rukun puasa.
c.       Mengetahui hal yang disunahkan dan dimakruhkan dalam puasa.
d.      Mengetahui hal yang membatalkan puasa.
e.       Mengetahui uzur-uzur yang diperbolehkan dalam puasa.
f.       Mengetahui etika dalam berpuasa.
g.      Mengetahui waktu dan faedah puasa.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Puasa
Puasa adalah ibadah pokok yang ditetapkan sebagai salah satu rukun islam. Puasa yang dalam bahasa arab disebut (صام صوم وصيام) secara arti kata bermakna menahan dan diam dalam segala bentuknya, termasuk menahan atau diam dari berbicara.
Secara terminologi para ulama mengartikan puasa itu dengan “menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat-syarat yang ditentukan”.[1]
Secara lughawi shiyam atau shaum berarti berpantang atau menahan diri dari sesuatu (اَلإِمْسَاكُ عَنِ الشَئُ). Termasuk dalam pengertian lughawi ini “tidak bicara dengan orang lain atau berpantang bicara “ seperti termaktub dalam Al-qur’an surat maryam ayat 26:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah(hai Maryam): "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini".
Dalam pengertian syar’i, puasa digambarkan dalam Al-qur’an (surat Al-Baqarah ayat 187) sebagai menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Dalam kitab Sulubus Salam memberikan engertian secara syar’i bahwa puasa adalah menahan diri dari makanan, minum dan berhubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari padanya sepanjang hari menurut cara yang telah diisyari’atkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia (membuat), perkataan yang merangsang (porno), perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh, pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.
Dari pengertian syara’ tersebut dapat ditarik makna bahwa puasa atau shiyam adalah suatu ibadah kepada Allah SWT dengan syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual dan lain-lain perbuatan yang dapat merugikan atau mengurangi makna atau nilai dari pada puasa, semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Mengambil makna dari pengertian puasa tersebut, maka Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin  membagi tingkatan puasa iu menjadi tiga tingkatan yaitu puasa umum, puasa khusus, puasa khusus al khusus.
Puasa Umum adalah puasa dengan hanya menhan diri dari makan, minum dan hubungan seksual.
Puasa Khusus disamping pengertian puasa umum di atas ditambah menahan diri dari perkataan, pandangan penglihatan dan perbuatan anggota tubuh yang cenderung kepada hal yang kurang baik/tidak pantas.
Adapun tingktan ketiga Puasa Khusus al Khusus disamping pengertian dua di atas ditambah lagi dengan puasa hati dari segala maksud dan fikiran duniawi.[2]
B.     Syarat Dan Rukun Puasa
1.      Syarat Puasa
Para ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat puasa atas:
a.       Syarat wajib puasa meliputi:
1)      Berakal (‘aqli)
Orang yang gila tidak wajib berpuasa.
2)      Baliqh (sampai umur)
Oleh karena itu anak-anak belum wajib berpuasa.
3)      Kuat berpuasa (qadir)
Orang yang tidak kuat berpuasa baik karena tua atau sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tetapi wajib bayar fidyah.
b.      Syarat syah puasa yang mencakup:
1)      Islam
Orang yang bukan islam (kafir) tidak syah puasanya, demikian pula orang yang murtad.
2)      Mumayiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik dengan yang tidak baik).
3)      Suci dari darah haid, nifas, dan wiladah.
Wanita diwajibkan puasa selama mereka tidak haid, jika mereka sedang haid tidak diwajibkan puasa, tetapi diwajibkan mengerjakan qadha sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah selesai bulan puasa.
Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu itu menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak perbedaan meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid.
4)      Dikerjakan dalam waktu/hari yang diperbolehkan puasa.
2.      Rukun Puasa
Rukun puasa meliputi:
a.       Niat
Kedudukan niat dalam ajaran islam penting sekali, karena ia mencangkut dengan kemauan.
Banyak terjadi salah pengertian tentang niat dalam berpuasa. Kata niat itu sebenarnay bererti kehendak atau maksud untuk mengertjakan sesuatu dengan sadar dan sengaja. Tetapi banyak orang mengartikan seolah-olah niat niat itu berarti mengucapkan atau melafadzkan serangkaian kata-kata yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan akan berbuat ini atau itu.
Niat bermakna gerak kemauan yang timbul dari hati nurani. Gerak kemauan inilah yang dinilai dan merupakan cerminan asli dari hati untuk berbuat sesuatu. Sebagai suatu amalan hati, maka orang yang berniat untuk berpuasa adalah orang yang mulai mengarahkan hatinya dengan tekad akan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam puasa baik yang bersifat larangan untuk mendapat ridha-Nya. Karena itu maka yang berniat itu adalah hati. Hal ini tidak berarti bahwa melafadzkan niat tidak boleh, tetapi yang dinilai adalah niat yang ada di dalam hati tiap-tiap hamba-Nya.
b.      Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari.
Sabda Nabi SAW yang artinya: “Dari abu hurairah telah bersabda Rasulullah SAW “barang siapa terpaksa muntah tidaklah wajib mengqadha puasanya, dan barang siapa mengusahakan muntah dengan sengaja, maka hendaklah dia mengqadha puasanya”.[3]
C.    Hal Yang Disunahkan Dan Dimakruhkan Dalam Puasa
Adapun hal-hal yang disunahkan puasa diantaranya:
1.      Menyegerakan berbuka apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah terbenam.
2.      Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air.
3.      Berdoa sewaktu berbuka puasa.
4.      Makan sahur sesudah tengah malam.
5.      Menta’khirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.
6.      Memberi makan untuk berbuka kepada orang yang puasa.
7.      Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.
8.      Memperbanyak membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya (belajar atau mengajar) karena mengikuti perbuatan Rasulullah SAW.[4]
Adapun hal yang dimakruhkan dalam puasa adalah:
a.       Mencium dan pendahuluan aktivitas persetubuhan kendatipun berupa khayalan atau penglihatan
b.      Mencari kesenangan dengan hal-hal yang mubah
c.       Mencicipi makanan.[5]
D.    Hal Yang Membatalkan Puasa
Tiga hal yang secara tegas disebutkan dalam Al-qur’an yang membatalkan puasa, yaitu makan, minum dan hubungan seks, seperti firman Allah dalam al-qur’an al baqarah ayat 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Ayat tersebut menyebutkan kapan boleh kita makan minum dan melakukan hubungan seksual pada bulan puasa dengan arti kebalikan dari ketentuan tersebut tidak dibolehkan dalam puasa yaitu makan, minum dan hubungan seksual itu dilakukan pada siang hari semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Tiga hal tersebut akan membatalkan puasa, bila dilakukan dengan sengaja dan atas kemauan sendiri, sedangkan bila dilakukan karena lupa atau karena tidak sadar atau karena ancaman yang akan membahayakan jiwanya, maka tidaklah batal puasanya dan agar diteruskan/disempurnakan sampai terbenamnya matahari.
Selain tiga hal yang secara tegas dinyatakan membatalkan puasa, maka ada pula hal-hal yang membatalkan puasa diantaranya:
a.       Keluar darah haid dan nifas
Batalnya puasa karena keluarnya darah haid dan nifas adalah sebagai konsekuensi syarat syahnya puasa (suci dari haid dan nifas), bila syarat tidak terpenuhi maka gugurlah puasa tersebut.
b.      Gila yang datangnya waktu sedang menjalankan puasa
Batalnya puasa karena gila adalah juga sebagai konsekuensi syarat wajib puasa yaitu salah satunya berakal, bila yang bersangkutan hilang akalnya (gila), maka salah satu syarat wajib puasa tidak terpenuhi, maka gugurlah puasa tersebut.[6]

c.       Muntah dengan sengaja.
Sekalipun diyakini tidak ada yang kembali masuk setelah keluar dari mulut. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang muntah secara terpaksa ketika puasa, ia tidak wajib mengqadha puasanya, dan barang siapa yang sengaja muntah ia wajib mengqadha” (HR. Ibn Hibban).
Akan tetapi bila seseorang muntah dengan tidak sengaja, atau dengan sengaja, tetapi tidak mengetahui haramnya, atau karena dipaksa, maka puasanya tidak batal.
d.      Keluar mani dengan sebab mubasyarah (sentuhan kulit tanpa alas), seperti mencium dan sebagainya. Akan tetapi keluar mani tanpa bersentuhan kulit, misalnya dengan sebab pandangan atau karena mimpi tidak membatalkan puasa.
Melakukan sentuhan, seperti ciuman, yang menggerakkan syahwat, hukumnya aram, tetapi tidak membatalkan puasa kecuali disertai keluar mani. Alasannya ialah bahwa dalam hadits Jabir, Rasulullah SAW, menyerupakan ciuman dengan berkumur-kumur. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama tidak ada air yang masuk kembali ke rongganya, jadi demikian pulalah hanya mencium, tidak membatalkan puasa kecuali disertai keluar mani.
e.       Riddah (murtad), karena orang kafir tidak sah melakukan ibadah.[7]
E.     Uzur-Uzur Yang Diperbolehkan Meninggalkan Puasa
Adapun uzur-uzur yang membolehkan pembatalan puasa
a.       Perjalanan
b.      Sakit
c.       Wanita hamil
d.      Wanita menyusui
e.       Masa tua
f.       Rasa lapar dan haus yang membahayakan
g.       Terpaksa.[8]
F.     Etika Dalam Berpuasa
Kesempurnaan puasa lebih banyak ditentukan oleh kesempurnaan dalam menjalankan tata aturan puasa itu sendiri. Dengan melakukan syarat dan rukun puasa, maka terpenuhilah kewajiban puasa itu. Tapi itu baru sekedar membayar atau melepaskan kewajiban, sedangkan untuk dapat mencapai tujuan akhir dari puasa (muttaqin), maka segala tata aturan lainnya yang akan menyampurnakan puasa harus dilaksanakan pula dengan keikhlasan dan kesadaran.
Dengan makin banyak melakukan amalan-amalan sunnat puasa serta memperhatikan haifiat/tata aturan berpuasa dengan sebaik-baiknya, mudah-mudahan tujuan puasa dapat diperoleh.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berpuasa itu adalah:
1.      Berniat akan berpuasa secara ikhlas dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT. Niat ini dapat dengan dilafadzkan ataupun tidak, tetapi yang pokok adalah niat di hati sanubari sendiri.
2.      Makan Sahur. Makan sahur adalah penambah kekuatan agar jasmani kuat dalam berpuasa esok harinya. Makan sahur sebaiknya di akhirkan artinya mendekati terbitnya fajar  (menjelang subuh). Sabda Nabi SAW:
اَنْ اَنَسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم تَسَحَّرُوْافَإِنَّ فِي السَّحُوْرَبَرْكَةً (رواه البخارومسلم)
“ dari annas, Rasulullah SAW telah bersabda: “ makan sahurlah kamu, sesungguhnya makan sahur itu berkat (mnguatkan jasmani dalam menahan lapar dan haus)”.
Setelah sahur, bersihkanlah mulut dari sisa-sisa makanan dengan bersikat gigi dan nantikanlah waktu subuh (jangan tidur lagi sebelum sholat subuh). Waktu imsak adalah meupakan “lampu kering” yang memperingatkan kita agar sebaiknya segala sesuatunya telah selesai. Tapi bila kita masih makan, teruskanlah sapai sesaat sebelum subuh. Kemudian lakukanlah sholat suduh dan usahakanlah berjama’ah, baik di rumah maupun di masjid.
3.      Menjauhkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa ataupun segala sesuatu yang akan mengurangi nilai-nilai puasa yaitu:
a.       Tinggalkanlah perkataan bohong/dusta.
b.      Jangan berkata kotor, mencaci maki, mengumpat, dan berbantah-bantahan (bertengkar)
4.      Usahakanlah shalat fardhu (dhuhur dan ashar) berjama’ah dan bacalah ayat-ayat suci al-qur’an setelah selesai shalat-shalat tersebut.
5.      Segeralah berbuka bila waktunya telah datang.
6.      Berbukalah dengan kurma atau sesuatu yang manis atau dengan air lalu sembahyang, kemudian baru makan nasi.
7.      Berdo’a sewaktu berbuka.
8.      Memberi makan untuk orang yang berpuasa (ta’jilan).
9.      Memperbanyak sedekah dalam bulan puasa.
10.  Sembahyang tarawih dan witir. Usahakanlah berjama’ah baik di rumah ataupun di masjid.
11.  Beri’tikaf di masjid
Beri’tikaf adalah berdiam diri di masjid dengan niat mengekang jiwa untuk taat kepadaNya dan menekuni rumahNya dalam mendekatkan diri dengan penuh ketaatan serta menjauhi hal-hal yang diinginkan hawa nafsu.
I’tikaf  yang mengandung keikhlasan dan penyerahan diri kepada Allah SWT dengan selalu beribadah di rumahNya serta memohon perlindunganNya serta menjauhkan soal-soal duniawi dan mementingkan soal ukhrawi. Islam tidak mengenal sistem bertapa yang menjauhkan diri dari segala soal duniawi, tetapi islam membenarkan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan di masjid dengan lebih mementingkan soal-soal ukhrawi dari pada soal-soal duniawi pada waktu i’tikaf tersebut.[9]


G.    Waktu Dan Faedah Puasa
1.      Waktu Puasa
Puasa dilakukan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Penentuan waktu ini diambil dari daerah yang malam dan siangnya sama atau dari daerah yang kadang-kadang siangnya panjang, seperti Bulgaria, dengan mengira-ngira waktu puasa menurut daerah terdekat. Dalilnya ialah ayat berikut:
. . . وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر . . .
. . . Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar . . . (Q.S. 2:187)
Pernyataan “benang putih dan benang hitam” dalam ayat di atas bersifat kiasan. Artinya, terangnya siang dan gelapnya malam. Kondisi ini (terangnya siang dan gelapnya malam) akan terjadi ketika fajar telah terbit. Mengenai hadis Nabi SAW yang artinya: “jika Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan,”Ibnu Abdul-Barr mengomentari, “Hadis inimerupakan dalil bahwa benang putih adalah pagi dan sahur--menurut kesepakatan---tidak akan terjadi, kecuali sebelum fajar”.[10]
2.      Faedah Puasa
Faedah puasa sangat banyak, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material
a.       Puasa merupakan satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
b.      Puasa dinisbatkan kepada Allah.[11]
c.       Puasa merupakan madrasah moralitas yang besar dan dapat dijadikan sarana latihan untuk menempa berbagai macam sifat terpuji.
d.      Puasa mendidik seseorang untuk bersikap jujur dan merasa diawasi oleh Allah SWT.
e.       Puasa dapat menguatkan kemauan, mempertajam kehendak, mendidik kesabaran, membantu kejernihan akal, menyelamatkan pikiran, dan mengilhami ide-ide yang cemerlang,
f.       Puasa mengajarkan sikap disiplin dan ketepatan, karena puasa menuntut orang yang berpuasa untuk makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan.
g.      Puasa dapat menumbuhkan kasih sayang, ukhuwah, dan perasaan keterikatan dalam tolong-menolong yang dapat menjalin rasa persaudaraan sesama umat Islam.
h.      Puasa, secara praktis, memperbarui kehidupan manusia, yaitu dengan membuang makanan yang telah lama mengendap dan menggantinya dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan yang mengendap dan tidak tercerna, serta menghilangkan bau busuk yang disebabkan oleh makanan dan minuman.
i.        Puasa merupakan perjuangan mengekang hawa nafsu serta membebaskannya dari cengkraman dan dosa dunia.
Faedah terbesar dari puasa adalah dapat mewujudkan beberapa hal berikut:
a.         Puasa bisa menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan dalam anggota tubuh, seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan.
b.        Puasa akan menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap orang miskin.
c.         Puasa, terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan orang-orang miskin, yaitu dengan ikut menanggung atau merasakan penderitaan mereka.[12]
Selain faedah ada beberapa fungsi puasa dalam kehidupan sehari-hari diantaranya:
a.       Sebagai wujud rasa syukur kepada Allah.
b.      Sebagai latihan pengabdian diri.
c.       Memeihara kesehatan, yaitu dengan berpuasa alat pencernaan kita dapat beristirahat sehingga tidak kelelahan dan tidak mudah rusak.
d.      Sebagai pendidikan yaitu dengan berpuasa dapat menumbuhkan sikap penyanundan kasih sayang terhadap sesamanya terutama terhadap fakir miskin.[13]














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
“Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahandiri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.”
Selain itu banyak hal-hal yang membahas tentang puasa seperti syarat, rukun, yang disunahkan dalam puasa, yang dimakruhkan dalam puasa, yang membatalkan puasa, dan yang lainnya telah dibahas di atas dalam makalah. Yang sangat berharga bagi kehidupan sehari-hari.

B.     Saran
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan. Tak terkecuali belajar Fiqh 1 tentang Puasa. Baik belajar mulai dari membaca, mengamati, memahami, dan menganalisis  tentang tatacara melaksanakan puasa.
Seringkali seseorang mrngabaikan tentang puasa dan mengetahui apa yang terkandung dalam ibadah puasa secara mendalam. Seperti halnya keutamaan, hikmah, dan hal yang membatalkan puasa serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu marilah kita bersama mencari tahu, memahami, mendiskusikan tentang tatacara melaksanakan puasa yang sangat berharga ini dengan harapan mendapatkan kemanfaatan dan terhindar dari kesesatan.


                             DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Daradjat, Zakiah dkk. 1983. Ilmu Fiqh Jilid I. Jakarta: Direktorat Pembinaan Tinggi Agama Islam.

Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqh Islam. Bandung: sinar Baru Algensindo.
Al-Zuhayly, Wahab. 1996. Puasa Dan I’tikaf. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nasution, Lahmuddin. 1995. Fiqh 1. Jakarta: Logos.
Irham, Masturi dan Malik Supar. 2006. Merindukan Bulan Puasa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Multahim, dkk. 2007. Agama Islam 2 Penuntun Akhlak. Jakarta: Yudhistira.















LAMPIRAN
(SOAL-SOAL)

1.      Attiqotul Mutawaroh (111-14-269)
Pertanyaan 1 : Berikan contoh mencari kesenangan dalam hal-hal yang mubah?
Di kutip dari: T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1983. Pedoman Puasa. Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm 119- 121.
Hal-hal yang dimubahkan dalam puasa seperti:
a.       Menyelam ke dalam air, mandi dan membasahkan kepala dengan syarat tidak sampai ke dalam perut.
b.      Bercelak dan meneteskan sesuatu ke dalam mata, baik menimbulkan rasa sampai di kerongkongan, ataupun tidak, karena mata itu bukan lubang ke dalam perut.
c.       Mencium isteri bagi orang yang sanggup mengekang dirinya.
d.      Injeksi atau suntikan, baik suntika yang dapat menyenangkan, maupun tidak, baik suntikan di bawah kulit, ataupun suntikan pada urat. Meskipun suntika itu sampai ke dalam perut namun sampainya itu tidak melalui saluran biasa.
e.       Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung.
f.       Diperbolehkan kita menelan barang yang sukar kita memelihara diri daripadanya, seperti menelan air liur, debu, tepung dan dahak, juga debu di jalanan yang beterbangan.

2.      Iza Laila Lutfiati (111-14-041)
Pertanyaan 2 : Apa yang dimaksud terpaksa dalam udzur-udzur diperbolehkan meninggalkan puasa?
Di kutip dari : www.annursolo.com  
Al-Zuhayly, Wahab. 1996. Puasa Dan I’tikaf. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 222.
Yang dimaksud terpaksa dalam udzur (halangan) diperbolehkan meninggalakan puasa seperti udzur syar’i (alasan yang dibenarkan oleh syari’at), semisal haid, nifas, sakit, musafir, dan sebagainya. Terpaksa yang dimaksud disini adalah:
·         Pekerja berat
·         Menyelamatkan orang yang tenggelam dan yang lainnya
·         Menahan diri setelah berbuka karena uzur.

3.      Cilviana Puji Septiarini (111-14-247)
Pertanyaan 3 : Mengapa pada etika dalam berpuasa shalat fardhu yang dilakukan secara berjama’ah itu sholat dzuhur & isya’? Dan mengapa di sunahkan membaca Al-Qur’an?
Ditekankan bagi seorang muslim yang mengharap rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya untuk memperbanyak membaca Al Qur’anul Karim pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, mengharap ridha-Nya, memperoleh keutamaan dan pahalanya. Karena Al Qur’anul Karim adalah sebaik-baik kitab, yang diturunkan kepada Rasul termulia, untuk umat terbaik yang pernah dilahirkan kepada umat manusia, dengan syariat yang paling utama, mudah, paling luhur dan paling sempurna.
Al-qur’an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafaat baginya pada hari kiamat.
Selain itu mengapa yang di anjurka sholat fardhu berjama’ah ketika puasa yaitu sholat fardhu dzuhur dan asyar. Karena pada waktu dhuhur dan asyar itu waktu bekerjanya dan waktu istirahat orang biasanya sukar untuk melakukan sholat secara berjama’ah karena lebih mengutamakan bekerja atau kepentingan yang laian daripada sholat. Bahkan untuk sholat berjama’ah, sholat munfarid terkadang saja di undur-undur tidak tepat pada waktunya.

4.      Darwinto Ariyanto (111-14-173)
Pertanyaan 4 :Mengapa wanita hamil diperbolehkan meninggalkan puasa?
Di kutip dari : www. Ahmadzain.com
Seorang ibu yang sedang hamil, jika khawatir terhadap kesehatannya atau kesehatan janin yang ada di dalam perutnya dibolehkan tidak berpuasa. Dalilnya adalah sabda Rosulullah saw:
إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة ، وعن الحامل والمرضع الصوم
"Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan bagi musafir  untuk tidak mengerjakan setengah shalat dan bagi orang yang hamil serta menyusui  untuk tidak berpuasa." (Hadits Hasan riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai).





[1] Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, hlm 52-53.

[2] Daradjat, Zakiah dkk. 1983. Ilmu Fiqh Jilid I. Jakarta: Direktorat Pembinaan Tinggi Agama Islam, hlm 273-276.

[3] Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqh Jilid I, hlm 302-305.

[4] Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqh Islam. Bandung: sinar Baru Algensindo, hlm 238-240.
[5] Al-Zuhayly, Wahab. 1996. Puasa Dan I’tikaf. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm 200-202.
[6] Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqh Jilid I, hlm 306-308.
[7] Nasution, Lahmuddin. 1995. Fiqh 1. Jakarta: Logos, hlm 192-194.
[8] Al-Zuhayly, Wahab. Puasa Dan I’tikaf, hlm 208-222.

[9] Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqh Jilid I, hlm 309-316.
[10] Al-Zuhayly, Wahab. Puasa Dan I’tikaf, hlm 85.
[11] Irham, Masturi dan Malik Supar. 2006. Merindukan Bulan Puasa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hlm 13.
[12] Al-Zuhayly, Wahab. Puasa Dan I’tikaf, hlm 86-88.
[13] Multahim, dkk. 2007. Agama Islam 2 Penuntun Akhlak. Jakarta: Yudhistira, hlm 81-82.

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

MAKALAH HAKIKAT KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Hesti...