CERITA RAKYAT SENDANG SENJAYA DAN KAREBET
Pada zaman dahulu di negara Medang Kamolan terjadilah peperangan.
Raden Sanjaya, pangeran negara tersebut kalah dan akhirnya lari sampai di
Senjaya. Di sana ia bertapa kemudian menghilang dan munculah mata air yang
diberi nama Sumber Senjaya atau Sendang Senjaya. Kemudian sumber tersebut
dijadikan tempat pertapaan. Pada suatu hari datanglah para priyayi di antaranya
Ki Kebo Kanigoro, Sunan Kalijaga dan Jaka Tingkir atau Karebet. Di sana Karebet
mendirikan sebuah padepokan yang diberi nama padepokan Karebet. Ia juga membuat
sebuah gubuk, menanam buah manggis dan blimbing. Tempat tersebut sekarang
dikenal dengan desa Jubug, desa Manggisan dan desa Blimbing.
Karebet adalah anak seorang priyayi Pengging yang bernama Ki Kebo
Kenanga. Ia dilahirkan ketika ayahnya menggelar pertunjukan wayang beber dengan
Ki Ageng Tingkir sebagai dalangnya. Pada saat istri Ki Kebo Kenanga akan
melahirkan terjadi hujan lebat serta angin kencang hingga menerpa wayang dan
terdengar krebet-krebet, oleh karena itu Ki Ageng Tingkir memberi nama anak Ki
Kebo Kenanga dengan nama Karebet. Tidak lama kemudian, terdengar kabar bahwa Ki
Ageng Tingkir sakit keras. Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang
menjenguknya. Sampai di sana ternyata Ki Ageng Tingkir meninggal dunia. Mereka
tinggal di desa Tingkir selama tujuh hari sebagaimana adat Jawa.
Sebagaimana halnya Syekh Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga juga mempunyai
banyak pengikut. Semua penduduk Pengging patuh dan mengikuti petuah-petuahnya.
Pengging merupakan wilayah Demak, maka seharusnya tunduk pada kekuasaan Demak.
Namun, Ki Kebo Kenanga tidak mau manghadap pada Sultan meskipun satu kali saja,
apalagi ia masih kemenakan raja. Penolakan ini dianggap oleh Sultan sebagai
pembangkangan. Beberapa kali utusan datang untuk menyuruh Ki Kebo Kenanga
menghadap, tetapi tetap tidak dihiraukannya, hingga Sultan memberinya waktu
tiga tahun. Waktu yang diberikan pun habis, dan Ki Kebo Kenanga tidak menghadap.
Hal ini dianggap Sultan sebagai pengkhianatan, apalagi pendukungnya semakin
banyak. Maka, Sultan menyuruh Sunan Kudus untuk memberikan hukuman mati kepada
Ki Kebo Kenanga. Setelah kematian Ki Kebo Kenanga, istrinya jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu Karebet diasuh oleh Nyai Ageng
Tingkir.
Karebet tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gemar bertapa,
sehingga dijuluki Jaka Tingkir. Nyai Ageng kurang berkenan dengan apa yang
dilakukan Jaka Tingkir, kemudian ia menyuruhnya untuk berguru pada Ki Ageng
Sela. Akhirnya ia berguru pada Ki Ageng Sela. Ki Ageng juga mengangangkatnya
sebagai cucu dan dipersaudarakan dengan ketiga cucunya, yaitu Ki Juru Martanai,
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Jaka Tingkir sangat cakap, sehingga Ki Ageng
sangat sayang padanya. Tujuh hari tujuh malam mereka berada di hutan Renceh, di
sebelah utara timur Tarub. Ki Ageng Sela menghabiskan waktu dengan bersemedi,
sedangkan Jaka Tingkir hanya tidur dan bermain. Hingga suatu malam, Jaka
Tingkir tertidur berbantalkan kaki Ki Ageng yang sedang bersemedi. Ki Ageng
mendapatkan wahyu seperti mimpi. Dalam mimpinya, Ki Ageng pergi ke hutan
membawa sabit hendak memangkas semak dan pohon-pohon kecil. Terlihat juga Jaka
Tingkir sudah ada dalam hutan tersebut dan semua pohon sudah tumbang dicabut
olehnya.
Seketika itu Ki Ageng terbangun dan melihat Jaka Tingkir tertidur
di kakinya. Lalu ia membangunkannya dan menanyakan apakah ia pernah bermimpi.
Jaka Tingkir menjawab bahwa ia pernah bermimpi kejatuhan bulan. Itu adalah mimpi
yang bagus kata Ki Ageng Sela. Ki Ageng merasa resah dengan hal itu, namun ia
pasrah dan sadar bahwa kekuasaan Tuhan tidak dapat diupayakan manusia. Ki Ageng
menasehati agar Jaka Tingkir pergi ke Demak Bintoro untuk menemukan arti
mimpinya itu. Ki Ageng juga berkata jika Jaka Tingkir telah berhasil ia jangan
sampai melupakan keturunan Ki Ageng Sela.
Sebelum pergi ke Demak, Jaka Tingkir berpamitan pada Nyai Ageng
Tingkir. Nyai Ageng Tingkir mengijinkannya asalkan ia ditemani pelayan, karena
Nyai Ageng sangat sayang padanya, dan takut kalau terjadi apa-apa. Namun,
pelayanya itu sedang matun (mencabuti rumput di sawah). Jaka Tingkir menuruti
apa yang dikehendaki Nyai Ageng. Ia dengan sabar menunggu dua orang pelayan
yang akan mengantarnya ke Demak, bahkan Karebet menyusul ke sawah untuk
membantu agar cepat selesai. Menjelang waktu asar, Karebet masih bekerja di
sawah. Kebetulan Sunan Kalijaga lewat di situ dan melihatnya sedang matun.
Segera ia menghampiri dan mengatakan pada Jaka Tingkir agar ia menghentikan
pekerjaanya itu dan mengatakan bahwa Jaka Tingkir adalah calon pemimpin Jawa.
Sunan Kalijaga hanya berkata demikian, lalu meninggalkan Jaka Tingkir dan
berjalan ke utara tanpa menoleh.
Setelah itu ia pulang dan menceritakan semuanya pada Nyai Ageng. Lalu
Nyai Ageng menyuruhnya lekas berangkat dan pekerjaan yang belum selesai biar
Nyai Ageng yang meneruskan. Lalu Jaka Tingkir berangkat ke Demak. Di sana ia
tinggal di rumah Kyai Ganjur atau Kyai Gandamustaka (saudara Nyai Ageng
Tingkir) yang bekerja sebagai perawat masjid Demak berpangkat lurah Ganjur.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyu Biru atau Ki Kebo
Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Ki Kebo Kanigoro sering mengajaknya
bertapa di sendang Senjaya. Suatu kali sumber di sendang ini besar sekali,
kemudian Jaka Tingkir menyumbat dengan rambutnya, dan akhirnya menjadi kecil
dan bisa digunakan oleh masyarakat lagi. Di sendang ini terdapat tujuh mata air
yaitu, pertama sendang Gojek. Sendang ini biasanya digunakan Jaka Tingkir
sebagai tempat berkumpulnya dengan para wali. Kedua, Umbul Senjaya, tempat ini
sebagai sumber pertama, hasil menghilangnya raden Sanjaya. Sumber ketiga yaitu
sumber Bandung. Sumber keempat, sendang Kakung. Sendang ini digunakan Jaka
Tingkir untuk mandi. Kelima yaitu sumber Teguh, keenam aendang putri dan yang
terakhir Tuk Sewu, karena tuk di sumber ini banyak sekali, sehingga dinamakan
Tuk Sewu.
Setelah tamat, Jaka Tingkir pergi ke Demak lagi dengan ketiga murid
yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila dan Ki Wuragil. Rombongan ini menyusuri
sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya dan
menyerang mereka. Buaya-buaya tersebut dapat ditaklukkan, bahkan membantu
mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Sultan Trenggono sekeluarga sedang berada di gunung
Prawoto. Atas usulan Ki Kebo Kanigoro, Jaka Tingkir melepas kerbau gila yang
dinamakan Kebo Danu yang sebelumnya sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan
pada telinganya). Kerbau itu mengamuk dan menyerang pesanggrahan Sultan
Trenggana. Tak seorang pun yang bisa menghadapi kerbau tersebut. Akhirnya Jaka
Tingkir menghadapi kerbau tersebut dan ia diangkat menjadi lurah Wiratamtama
lagi.
Prestasi Jaka Tingkir sangat bagus sekali, sehingga Sultan
mengangkatnya menjadi menantu dan menjadi adipati Pajang dengan gelar Adiwijaya
atau Hadiwijaya. Sepeninggal Sultan Trenggana, yang seharusnya menggantikan
adalah Sunan Prawoto. Namun, beliau tidak mau karena ingin menjadi sunan atau
priyayi mukmin di Prawoto. Kemudian tahta kerajaan diberikan kepada Jaka
Tingkir dengan pusat pemerintahan di Pajang.
Dahulu setelah Pangeran Sabrang Lor Wafat, orang yang berhak
menggantikannya sebagai Sultan adalah Pangeran Sekar Seda Eng Lepen. Namun,
atas pertimbangan para wali dan kerabat istana, mereka memutuskan yang pantas
menduduki tahta kerajaan adalah Sultan Trenggana. Hal ini menimbulkan rasa yang
kurang puas pada Pangeran Seda Eng Lepen, tetapi ia masih berlapang dada dan
menerima keputusan itu. Pangeran Seda Eng Lepen diam-diam mempersiapkan anaknya
yang bernama Arya Penangsang untuk menggantikan pamannya, jika kelak sudah
turun tahta. Arya Penangsang diserahkan kepada Sunan Kudus agar diasuh dan
dididik. Ternyata Sunan Prawoto (anak Sultan Trenggana) juga dititipkan di
sana. Arya Penangsang tumbuh menjadi manusia yang kuat, namun ia kurang bisa
menahan emosi dan gampang marah, sedangkan Pangeran Prawoto lebih sabar dan
tenang, namun dia kurang dalam kesaktian.
Pangeran Prawoto mencium gelagat yang kurang baik. Dia mencurigai
pamannya, Pangeran Seda Eng Lepen akan merebut tahta kerajaan. Ia berencana
menyingkirkan pamannya itu dengan cara menyuruh orang untuk membunuhnya.
Selesai sembahyang di masjid, suruhan Pangeran Prawata mencegat Pangeran Seda
Eng Lepen di pinggir sungai. Ia dalam keadaan lemah lalu dibegal dan dibunuh.
Berita ini sampai di telinga Arya Penangsang. Lalu ia berencana akan membalas
dendam, namun amarahnya itu berhasil diredam oleh Sunan Kudus. Dia berjanji
akan membalas perbuatan Pangeran Prawata suatu ketika.
Pengangkatan Jaka Tingkir diketahui oleh Arya Penangsang. Ia tidak
terima tahta kerajaan diberikan kepada orang yang bukan keturunan Raden Patah,
apalagi yang mengangkatnya itu Sunan Prawoto. Sunan Kudus pun demikian. Dia
lebih suka kalau orang yang memerintah adalah muridnya, bukan Adiwijaya yang
merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Persaingan antar wali dalam bidang politik
juga berpengaruh. Selain itu, Sunan Kudus kurang suka pada Adiwijaya karena ia
telah beralih guru pada Sunan Kalijaga. Sunan Kudus bertambah tidak suka pada
Sunan Kalijaga karena muridnya yang bernama Sunan Prawata juga ikut berguru
pada Sunan Kalijaga. Ia bertanya pada Arya Penangsang hukuman apa bagi orang
yang mempunyai dua orang guru sekaligus. Arya penangsang menjawab bahwa mati
adalah hukumannya. Sunan Kudus mengatakan bahwa yang berhianat adalah Pangeran
Prawoto. Sunan Kudus merasa Sunan Prawata telah berkhianat padanya. Hanya Arya
Penangsang yang masih setia. Maka Arya Penangsang siap melakukan hukuman bagi
Sunan Prawoto.
Semenjak saat itu Arya Penangsang melakukan serangkaian kekacauan.
Ia membunuh banyak orang yang dianggapnya musuh. Dendam atas kematian ayahnya
salah satunya. Baginya semua ini karena pamannya, Sultan Trenggana. Maka, semua
orang yang masih anak cucu Sultan Tranggana harus dibinasakan. Pertama, yang
ingin dia bunuh adalah Sunan Prawata. Selain sebagai putra Sultan Trenggana, ia
juga telah berkhianat pada Sunan Kudus.
Adik Sunan Prawoto yang bernama Ratu Kalinyamat mendengar bahwa
kakaknya telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Kemudian ia pergi menghadap kepada
Sunan Kudus untuk mendapat keadilan. Ia berharap Sunan kudus dapat menghukum
muridnya karena telah melakukan pembunuhan. Namun, Ratu kalinyamat tidak
mendapatkan jawaban yang memuaskan, lalu ia pulang dengan marah dan kecewa.
Arya Penagsang mengetahui bahwa sepupunya itu telah mengadu pada gurunya. Ia
menganggapnya sebagai kesempatan untuk membunuh mereka. Maka diutuslah beberapa
pengawal untuk membunuh pasangan suami istri tersebut. Para pengawal menyamar
sebagai perampok dan berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat, sementara itu
sang ratu berhasil melarikan diri.
Ratu Kalinyamat semakin marah dan dendamnya semakin memuncak. Ia
memutuskan pergi ke gunung Danareja untuk bertapa sebagai wujud
ketidakberdayaan. Ia tanggalkan semua pakaiannya. Ratu bertapa dengan telanjang
bulat. Ia membiarkan rambutnya terurai untuk menutupi tubuhnya. Ratu bersumpah
tidak akan memakai kain seumur hidup sebelum Arya Penangsang mati. Dia juga
mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang,
ia akan memberikan semua harta bendanya.
Arya Penangsang telah berhasil membunuh Sunan Prawoto dan suami
Ratu Kalinyamat, kemudian Sunan Kudus menasehatinya untuk membunuh Sultan
Pajang dengan diam-diam. Ia mengirim empat orang untuk melakukan rencana
tersebut. Para suruhan berhasil menyusup ke kamar tidur raja. Mereka melihat
raja sedang tidur bersama istrinya. Mereka menghunuskan pedang ke selimut raja.
Sang permaisuri terbangun lalu menjerit histeris. Raja pun bangun, lalu
menyingkapkan selimutnya. Para pembunuh itu terjatuh dan tidak bisa bangun
lagi. Sultan tidak menghukum mereka, malahan menyuruh mereka pulang serta
diberi hadiah.
Keempat orang tersebut pulang ke Jipang dan melaporkan kegagalan
percobaan pembunuhan itu kepada adipati. Laporan itu membuat Arya Penangsang
semakin khawatir. Lalu ia meminta nasehat kepada Sunan Kudus. Dia meminta agar
Sunan memanggil raja Pajang. Raja Pajang alias Jaka Tingkir menghadap Sunan
Kudus karena masih mengangganya sebagai guru. Ki Pemanahan, Ki Juru Martani dan
Ki Panjawi memberikan usulan kepada raja untuk membawa seluruh pasukan
tentaranya, pasukan kuda di depan dan pasukan jalan kaki di belakang. Pasukan
tersebut dipimpin langsung oleh Ki Patih Mas Manca.
Sampai di alun-alun Kudus, Sunan Kudus memerintahkan Arya
Penangsang menyambut dan mengajaknya masuk. Hal ini sebagai siasat untuk
melemahkan raja Pajang. Meskipun terkenal dengan orang yang sakti, namun raja
Pajang juga mempunyai kelemahan. Sunan dengan sengaja menyediakan kursi khusus
untuk sang raja dengan harapan, setelah duduk dari kursi yang telah diberi
mantra, kesaktiannya akan luntur.
Para Abdi Sela melihat gelagat yang tidak baik. Mereka menyarankan
raja untuk berhati-hati. Para abdi Sela sengaja memancing amarah Adipati Jipang
agar hilang akal sehatnya. Mereka berhasil membuat marah sang adipati, sehingga
ia lupa untuk mempersilahkan Sultan Adiwijaya duduk di kursi yang telah
dipersiapkan. Beberapa saat kemudian Sunan Kudus keluar. Ia terkejut melihat
kursi yang diberinya mantra itu telah diduduki Arya Penangsang. Firasatnya
mengatakan bahwa manusia tidak bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa. Pertemuan
itu tidak ada pembicaraan yang berarti. Sunan Kudus hanya sebagai penengah
dalam perselisihan itu. Sunan Kudus memberi nasehat agar keduanya tidak boleh
saling mendekat lagi. Antara Jipang dan Pajang harus pisah. Sungai Sore atau
sungai Caket sebagai batasnya. Salah satu dari keduanya tidak boleh
menyeberangi sungai. Jika ada yang menyeberang, maka akan menderita kekalahan
dalam perang.
Sultan Adiwijaya tersentuh dengan apa yang dilakukan Ratu
Kalinyamat. Ia pergi ke gunung Danareja untuk menasehati kakak iparnya itu
untuk menghentikan pertapaannya. Ratu bersikeras tidak akan berhenti sebelum
Arya Penangsang mati. Ia berjanji kepada Sultan Adiwijaya, jika ia berhasil
membunuh Arya Penangsang maka akan dihadiahi kerajaan Kalinyamat (Jepara) dan
Prawata (Demak). Sultan Adiwijaya tidak mau berperang melawan Adipati Jipang
karena masih teringat nasehat Sunan Kudus. Namun, atas nasehat Ki Pemanahan Sultan
Adiwijaya akan memberi jawaban sehari kemudian. Ki Pemanahan mendatangi Ratu
Kalinyamat untuk menembah hadiahnya dengan dua wanita cantik. Hal ini adalah
kelemahan raja. Kemudian Ki Pemanahan juga mendatangi Sultan bahwa membunuh
Arya Penangsang bukan untuk mendapat hadiah, namun menolong saudara yang
tertimpa kesusahan. Raja pun tidak harus turun langsung menghadapi Arya
Penangsang, cukup bawahannya saja. Akhirnya raja setuju. Ia mengadakan
sayembara. Siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang akan diberi hadiah
Mataram dan Pati. Ki Pemanahan tergiur dengan hadiah tanah Jepara dan Demak,
apalagi hadiah yang diberika oleh raja. Kemudian para tokoh Sela, yang teridiri
dari Ki Pemanahan, Ki Juru Martani, Ki Panjawi dan Danang Sutawijaya segera
mengatur siasat. Keempat kerabat Sela tersebut berangkat ke dekat sungai Caket.
Mereka menyamar sebagai orang biasa. Ki juru Martani merencanakan taktik perang
melawan Arya Penangsang. Di seberang sungai mereka melihat ada seorang yang
sedang mencari rumput, ternyata orang itu adalah tukang rumput yang bertugas
mencarikan rumput kudanya Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang. Mereka
tidak melewatkan kesempatan ini. Mereka bertanya banyak hal tentang Arya
Penangsang. Sang pencari rumput mengatakan bahwa Gagak Rimang sangat perkasa
dan larinya sangat kencang, namun kuda ini akan sulit dikendaliakn kalau
melihat kuda betina binal. Ia tidak sadar bahwa orang-orang yang bertanya itu
hendak mencelakai gustinya. Ki Pemanahan menawarkan akan memberikan uang yang
banyak kalau ia mau memotong salah satu telinganya. Akhirnya perumput tadi mau
memotongnya. Ki Pemanahan segera menulis surat dan menggantungkannya pada daun
telinga tersebut. Kemudian ia menyuruh orang itu menyampaikannya pada Arya
Penangsang.
Sang perumput tersebut dengan berlumuran darah menghadap Arya
Penangsang. Hal ini membuat marah adipati Jipang tersebut. Ia segera mengambil
senjata dan memacu kudanya yang bernama Gagak Rimang ke sungai Caket. Sambil
melontarkan caci maki dan tidak sabar untuk membunuh para kerabat Sela
Tersebut. Ia tidak sadar bahwa kemarahanya tersebut telah membuatnya lupa atas
pesan Sunan Kudus, bahwa siapa saja yang menyeberang sungai Caket maka akan
kalah dalam berperang. Akhirnya Arya Penangsang terbunuh oleh Danang Sutawijaya
atas kecerdikan Ki Juru Martani.
Setelah berhasil membunuh Arya Penangsang mereka menghadap Sultan.
Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dengan gelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki
Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan menunda penyerahan tanah
Mataram. Sampai beberapa tahun Mataram masih ditahan oleh Sultan. Alsan Sultan
melakukan hal itu karena beliau khawatir dengan ramalan Sunan Prapen, bahwa di
Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mengalahkan kebesaran Pajang. Kalijaga
menengahi kejadian ini. Beliau meminta Sultan untuk memenuhi janjinya.
Sebaliknya Ki Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki
Pemanahan bersedia. Maka, Adiwijaya menyerahkan tanah Mataram kepada kakak
angkatnya itu.
Tahun demi tahun berlalu. Sultan mendengar kemajuan Mataram semaikn
pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya.
Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa, Arya Pamalad, serta patih Mas
Manca. Ketiga orang tersebut dijamu pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian
pesta Raden Rangga (anak sulung Sutawijaya) membunuh prajurit Arya Pamalad.
Sesampainya di Pajang Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan
pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa tersebut hanya kecelakaan saja.
Sultan menerima laporan tersebut dan berusaha menahan diri.
Pada suatu hari seorang keponakan Sutawijaya yang bernama Raden
Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu
Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Raden Pabelan yang bernama tumenggung
Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membnatu anaknya. Ibu Raden
Pabelan yang merupakan adik kandung Sutawijaya meminta bantuan padanya.
Akhirnya Sutawija mengirim pasukan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam
perjalanan pembuangan ke Semarang. Perbuatan yang dilakukan Sutawijaya ini
membuat Adiwijaya mengambil tindakan untuk menyerang Mataram. Pasukan Pajang
yang jumlahnya lebih banyak, namun menderita kekalahan. Hal ini karena
Sutawijaya meminta bantuan istrinya, Ratu Kidul dan para jin di gunung Merapi
untuk membatu peperangan tersebut. Gunung merapi meletus dan laharnya ikut
menerjang pasukan Pajang. Kemudian Adiwijaya menarik pasukannya. Dalam
perjalanan pulang ia singah ke makam Sunan Tembayat, namun tidak mampu membuka
pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai suatu firasat bahwa ajalnya
segera tiba. Adiwijaya melanjutkan pulang. Di tengah perjalanan ia terjatuh
dari punggung gajag tunggangannya, sehingga ia harus diusung dengan tandu.
Sesampai di Pajang, datanglah mahluk halus anak buah Sutawijaya yang memukul
dada Adiwijaya, sehingga sakiynta bertambah parah. Adiwijaya berwasiat supaya
anak-anaknya jangan membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan
Mataram merupakan takdir dari Tuhan. Selain itu, Sutawijaya sudah dianggapnya
sebagai anaknya sendiri atau sebagai putranya yang paling tua. Sebelum
meninggal Adiwijaya sebelum meninggal menetap di sebuah desa, tempat Sendang
Senjaya berada dan meninggal di sana. Masyarakat setempat mengenalnya dengan
makam Kyai Slamet. Makam tersebut dijadikan tempat berdoa atau mujahadah hingga
sampai saat ini.